Badung (ANTARA) - Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Bali Nomor Urut 2 Wayan Koster-Nyoman Giri Prasta (Koster-Giri) dalam debat ketiga mengatakan keinginan mengembangkan program akademi perempuan Bali.
Koster di Badung, Rabu, mengatakan program ini salah satu solusi di tengah masih maraknya kasus kekerasan seksual, bahkan di Provinsi Bali UPTD PPPA mencatat ada 154 laporan tahun lalu.
“Melakukan kebijakan sesuai perda tentang pengarusutamaan gender, pemda merekrut pegawai minimal 31 persen perempuan, badan usaha juga, lalu mengembangkan program khusus akademi perempuan Bali,” kata dia.
Namun, sebelum itu ia mengingatkan bahwa ada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual yang rampung di sisa setahun masa jabatannya di periode pertama Gubernur Bali lalu. Berangkat dari landasan hukum ini, ia menilai kekerasan seksual dapat diantisipasi selain lewat penguatan akademi perempuan juga edukasi dan sosialisasi lebih masif.
“Pertama membentuk tim sosialisasi dan edukasi terkait ketentuan undang-undang bekerja sama dengan perguruan tinggi dan organisasi perempuan, agar masyarakat luas mengetahui ketentuan didalamnya,” ujar Wayan Koster.
Untuk penanganan di akhir, Koster-Giri berencana membangun rumah aman bagi korban kekerasan seksual, dimana ini akan bekerja sama dengan kabupaten/kota. Selain itu penanganan dari lembaga penegak hukum juga didorong agar lebih tegas memberi efek jera kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual.
Baca juga: Wilayah Papua rawan pelanggaran Pilkada 2024
Dalam sesi debat yang dibuat KPU Bali ini, Peserta Pilkada Bali Nomor Urut 1 Made Muliawan Arya-Putu Agus Suradnyana ikut menanggapi gagasan ini. Muliawan menyebut masih adanya kasus adalah akibat gubernur terdahulu atau Wayan Koster belum serius menangani kasus kekerasan seksual.
Baca juga: Debat terakhir, Tiga Cagub NTB paparkan strategi atasi masalah sosial
Ia menyebut hal yang sama dengan gagasan Koster-Giri yaitu menggencarkan sosialisasi, dengan tambahan lainnya yaitu membuat kurikulum bela diri dalam sekolah.
“Tentunya dengan adanya kurikulum bela diri dalam sekolah menengah maupun pendidikan dasar, dan perhatian guru, tenaga kesehatan, atau petugas sosial untuk mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan seksual, juga paling penting membuat pelayanan pelaporan,” ujar Muliawan.*
Koster di Badung, Rabu, mengatakan program ini salah satu solusi di tengah masih maraknya kasus kekerasan seksual, bahkan di Provinsi Bali UPTD PPPA mencatat ada 154 laporan tahun lalu.
“Melakukan kebijakan sesuai perda tentang pengarusutamaan gender, pemda merekrut pegawai minimal 31 persen perempuan, badan usaha juga, lalu mengembangkan program khusus akademi perempuan Bali,” kata dia.
Namun, sebelum itu ia mengingatkan bahwa ada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual yang rampung di sisa setahun masa jabatannya di periode pertama Gubernur Bali lalu. Berangkat dari landasan hukum ini, ia menilai kekerasan seksual dapat diantisipasi selain lewat penguatan akademi perempuan juga edukasi dan sosialisasi lebih masif.
“Pertama membentuk tim sosialisasi dan edukasi terkait ketentuan undang-undang bekerja sama dengan perguruan tinggi dan organisasi perempuan, agar masyarakat luas mengetahui ketentuan didalamnya,” ujar Wayan Koster.
Untuk penanganan di akhir, Koster-Giri berencana membangun rumah aman bagi korban kekerasan seksual, dimana ini akan bekerja sama dengan kabupaten/kota. Selain itu penanganan dari lembaga penegak hukum juga didorong agar lebih tegas memberi efek jera kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual.
Baca juga: Wilayah Papua rawan pelanggaran Pilkada 2024
Dalam sesi debat yang dibuat KPU Bali ini, Peserta Pilkada Bali Nomor Urut 1 Made Muliawan Arya-Putu Agus Suradnyana ikut menanggapi gagasan ini. Muliawan menyebut masih adanya kasus adalah akibat gubernur terdahulu atau Wayan Koster belum serius menangani kasus kekerasan seksual.
Baca juga: Debat terakhir, Tiga Cagub NTB paparkan strategi atasi masalah sosial
Ia menyebut hal yang sama dengan gagasan Koster-Giri yaitu menggencarkan sosialisasi, dengan tambahan lainnya yaitu membuat kurikulum bela diri dalam sekolah.
“Tentunya dengan adanya kurikulum bela diri dalam sekolah menengah maupun pendidikan dasar, dan perhatian guru, tenaga kesehatan, atau petugas sosial untuk mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan seksual, juga paling penting membuat pelayanan pelaporan,” ujar Muliawan.*