Mataram (ANTARA) - Bulir keringat sebesar biji jagung, terus mengalir di wajah I Made Sastrawan. Dia pun segera mengelapnya dengan telapak tangan mungilnya sembari nafas yang terengah-engah seperti telah berjalan puluhan kilometer.

Jumat (22/3) siang itu, bukan dia saja yang seperti kelelahan demikian pula dengan rekannya I Nyoman Sastrawijaya dan I Nyoman Angga Nugraha. Mereka berjalan beriringan dengan sepatu warna hitamnya yang terbuat dari bahan kanvas, kotor oleh lumpur. Tapi dari sorot matanya penuh optimistis untuk menjalankan keseharian itu demi mereguk ilmu pengetahuan.

Saat ditawari segelas air mineral oleh empu rumah yang dilewatinya, mereka tampak bersemangat. Sedotan kecil itu dibuka dari cangkangnya kemudian ditusukkan ke plastik penutup gelas mineral itu. Glek…glek…glek, minuman itu seolah-olah menjadi penyemangat untuk menuju ke rumahnya masing-masing.

Mereka adalah potret dari bocah kampung Selagolong, Desa Sajang, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang tinggal di tengah hutan kaki Gunung Rinjani. Jarak antara sekolah dengan rumah tinggalnya sekitar tiga kilometer. Namun, jarak itu harus ditempuh dengan melewati jalanan setapak dengan kontur jalan yang mendaki menurun mengikuti urat pinggiran punggungan bukit.

Hutan di kiri dan kanan sudah menjadi teman sehari-harinya, serta melewati satu sungai besar selebar sekitar 50 meter. Melalui jembatan swadaya warga Selagolong itu, memang terbilang rawan pada musim hujan. Pasalnya, bukan apa-apa banjir bandang terus mengintai jika tidak waspada.

Sungai Besar, mereka menyebutnya. Beberapa tahun lalu, banjir bandang itu dari sungai pernah menerjang warga di wilayah Sambalia yang berada di dekat pantai Lombok Timur. Bahkan pernah juga warga di Kampung Selagolong tidak bisa ke luar dari kawasan pemukimannya karena terjebak banjir bandang.

Bagi kaki kecil para bocah itu, paling tidak membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke sekolahnya di SDN 1 Sajang. Artinya, kegiatan sekolah jika dimulai dari pukul 07.00 WITA berarti mereka sejak pukul 06.00 WITA harus berangkat dari rumah.

Jika hujan sedang turun deras, mereka terkadang tidak sekolah. Atau sebaliknya jika memaksakan diri, dari rumah mereka membuka sepatu dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Kemudian beberapa meter menjelang pintu gerbang sekolah, dikenakan kembali sepatunya.

Bahkan tidak jarang, mereka terlambat masuk sekolah. Kendati demikian guru di sekolah itu, memakluminya mengingat jaraknya yang cukup jauh. Paling tidak ada belasan murid SDN 1 Sajang yang berasal dari Kampung Selagolong tersebut. Hingga ketika pergi ke sekolah, mereka berjalan bersama-sama meniti jalan setapak membelah kepekatan hutan.

"Saya berangkat dari rumah jam 06.00 WITA, karena takut kesiangan," ucap I Made Sastrawan yang saat ini duduk di bangku kelas 5.

Sebenarnya, kata dia, dirinya takut dimarahi guru kalau terlambat, namun keadaan yang membuatnya seperti itu. "Tapi guru sudah tahu kok kondisi kami," ujar bocah berusia sebelas tahun itu.

Demikian juga dikatakan oleh I Made Sastrawijaya, terkadang dirinya sering saling menunggu teman-temannya saat bersekolah hingga ketika melintasi jalan setapak ada teman untuk berbicara.

"Saya selalu pulang dan berangkat sekolah bersama-sama," katanya, polos.

Paling tidak, bocah-bocah itu harus menapaki jalan setapak pulang pergi dari sekolah ke rumah memakan waktu 2 jam. Sekali lagi, apakah mereka bosan dengan perjalanan panjang itu, mereka tidak kapok.

"Saya kepingin sekolah terus, bahkan sampai sarjana," ketiganya kompak menjawab saat ditanya mengenai suka duka bersekolah yang jaraknya jauh tersebut.

Sementara itu, I Wayan Suasana, warga Selagolong yang anaknya bersekolah di SDN 1 Sajang, mengharapkan adanya jalan permanen menggunakan beton sepanjang jalan dari jalan raya kabupaten ke tempat tinggalnya.

Setidaknya bisa membantu anak-anak sekolah serta membawa hasil panen dari kebun, ucapnya.

Ia menceritakan awal mulanya Kampung Selagolong sendiri yang berdiri pada 1997 saat warga dari Bangli, Bali merantau mencari perladangan baru ke Lombok.

Kemudian mereka membeli sebidang tanah hingga akhirnya sebanyak 31 kepala keluarga (KK) atau 112 jiwa tinggal di sana. Rumahnya sendiri berjarak antara 100 sampai 150 meter sesuai di atas lahannya masing-masing.

Mereka berkebun kopi Arabika, pisang dan sejumlah hasil bumi lainnya. Namun jangan salah banyak anak-anak mereka yang melanjutkan pendidikannya sampai perguruan tinggi, bahkan ada yang belajar ke Jepang.

Sementara itu, Kepala Desa Sajang, Lalu Kanahan menyebutkan sebenarnya pihaknya sudah membuka jalan setapak ke kampung Selagolong hingga bisa memangkas waktu perjalanan ke sekolah.

"Sebelumnya anak-anak berangkat ke sekolah sejak pukul 05.30 Wita," ungkapnya.

Pihaknya terus berupaya membuat jalan yang lebih baik untuk membantu warga Selagolong terutama anak-anak sekolah. Memang secara jumlah penduduk di Kampung Selagolong itu tidaklah banyak sebanyak 31 KK.

Namun, kata dia, pihaknya terus berpikir ada anak-anak yang harus bersekolah, sehingga terus berupaya untuk membantunya.

"Terlebih lagi, perkebunan milik warga Selagolong itu memiliki ekonomis yang tinggi seperti durian, kopi arabika, dan vanili yang akhirnya bisa mendongkrak perekonomian Sanjang,” tuturnya.

Terlepas dari itu semua, I Made Sastrawan, I Nyoman Sastrawijaya dan I Nyoman Angga Nugraha, serempak mereka menyatakan tetap ingin sekolah meski harus jauh. "Saya harus jadi orang pintar," kata ketiganya sambil berlalu.

Pewarta : Riza Fahriza dan Dhimas Budi Pratama
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024