Mataram (ANTARA) - Hari Ibu kerap hadir sebagai seremoni tahunan yang penuh bunga, ucapan terima kasih, dan nostalgia tentang sosok perempuan di dalam rumah.

Namun, di balik perayaan itu, realitas keibuan hari ini bergerak jauh lebih kompleks. Ibu tidak lagi hanya berdiri di dapur atau ruang keluarga, tetapi juga berada di garis depan persoalan sosial, pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan anak.

Berbagai laporan menunjukkan bahwa Hari Ibu kini relevan dibaca sebagai cermin perubahan zaman, sekaligus alarm tentang pekerjaan rumah yang belum selesai.

Di satu sisi, negara dan masyarakat terus mendorong penguatan peran perempuan dan ibu dalam pembangunan. Di sisi lain, muncul persoalan serius yang justru terjadi di ruang paling privat, yakni keluarga.

Kasus pencabutan kekuasaan orang tua akibat kekerasan seksual terhadap anak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, menjadi penanda bahwa keibuan dan kebapakan tidak bisa lagi dipahami semata-mata sebagai status biologis, melainkan tanggung jawab moral dan sosial yang harus dijaga bersama.

Hari Ibu, dalam konteks kekinian, bukan sekadar tentang penghormatan, tetapi tentang keberanian menata ulang makna peran orang tua di tengah tantangan zaman digital, krisis pengasuhan, dan tuntutan pembangunan manusia yang berkelanjutan.


Ruang aman

Ruang keluarga idealnya menjadi tempat paling aman bagi anak. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Kasus di Lombok Tengah, ketika negara melalui kejaksaan harus mengajukan gugatan pencabutan kekuasaan orang tua karena kejahatan seksual terhadap anak kandung, menjadi peristiwa yang mengguncang kesadaran publik.

Negara dipaksa masuk ke ruang paling privat karena fungsi perlindungan gagal dijalankan.

Peristiwa ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal krisis pengasuhan. Anak yang seharusnya tumbuh dalam lindungan kasih justru menjadi korban kekerasan.

Dalam perspektif Hari Ibu, kasus ini mengingatkan bahwa keibuan bukanlah peran simbolik, melainkan fondasi utama ketahanan sosial. Ketika fondasi ini rapuh, dampaknya tidak hanya pada satu keluarga, tetapi pada masa depan generasi.

Di sisi lain, pemerintah daerah dan berbagai lembaga terus mendorong penguatan peran orang tua dalam menciptakan ruang bahagia bagi anak.

Imbauan agar keluarga menciptakan lingkungan yang aman, penuh kasih, dan memahami psikologi anak usia dini menegaskan bahwa kebahagiaan anak bukan perkara sepele. Ia berkaitan langsung dengan tumbuhnya rasa percaya diri, kemampuan bersosialisasi, dan kesehatan mental.

Namun tantangan terbesar datang dari perubahan pola hidup. Gawai, arus informasi global, dan tekanan ekonomi membuat relasi orang tua dan anak semakin berjarak.

Banyak ibu dituntut menjadi pendamping belajar, pengawas penggunaan teknologi, sekaligus penopang ekonomi keluarga. Tanpa dukungan kebijakan yang memadai, beban ini mudah berubah menjadi kelelahan struktural yang diam-diam merusak kualitas pengasuhan.


Era digital

Berita tentang ajakan agar ibu menjadi orang tua canggih dan tidak gagap teknologi mencerminkan pergeseran besar dalam peran keibuan.

Anak dan remaja hari ini hidup di dunia yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Informasi datang tanpa saringan, nilai berubah cepat, dan identitas sering dibentuk oleh media sosial.

Dalam situasi ini, pendekatan otoriter tidak lagi efektif. Pengasuhan menuntut dialog, empati, dan kemampuan memahami dunia anak. Menekan ego, membuka diri, dan menjadi pendengar aktif bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk kecanggihan baru dalam menjadi orang tua.

Pembatasan penggunaan gawai pada anak juga menjadi isu penting. Data tentang jumlah anak yang besar dan upaya mewujudkan kabupaten dan kota layak anak menunjukkan bahwa negara mulai menyadari dampak jangka panjang dari pola asuh yang abai. Anak yang terlalu dini terpapar gawai berisiko mengalami hambatan perkembangan motorik, bahasa, dan sosial.

Namun kebijakan pembatasan saja tidak cukup. Ibu dan keluarga membutuhkan ruang publik yang ramah anak, sistem pendidikan yang adaptif, serta dukungan komunitas.

Di sinilah peran organisasi perempuan, PKK, dan Dharma Wanita menjadi relevan. Mereka tidak hanya menjadi perpanjangan tangan program pemerintah, tetapi juga simpul solidaritas sosial yang memperkuat daya tahan keluarga.

Hari Ibu, dalam konteks ini, menjadi momentum untuk menggeser narasi dari pengorbanan individual menuju tanggung jawab kolektif. Ibu tidak bisa terus dibebani sebagai solusi tunggal atas semua persoalan anak.


Masa depan bangsa

Peran ibu tidak berhenti di rumah. Berbagai dorongan agar perempuan terlibat dalam politik, pembangunan, dan pengambilan keputusan menegaskan bahwa keibuan dan kepemimpinan publik bukan dua hal yang bertentangan.

Justru pengalaman mengasuh, merawat, dan mendidik memberi perspektif etis yang penting dalam kebijakan publik.

Isu stunting, misalnya, memperlihatkan bagaimana peran keluarga dan negara saling terkait.

Gerakan orang tua asuh menunjukkan bahwa pemenuhan hak anak tidak bisa hanya mengandalkan anggaran negara, tetapi juga solidaritas sosial. Namun solidaritas ini tetap harus ditopang sistem yang adil agar tidak berubah menjadi tambal sulam.

Hari Ibu juga berkaitan erat dengan cita-cita Indonesia Emas 2045. Pembangunan sumber daya manusia tidak mungkin tercapai tanpa keluarga yang sehat dan setara. Ibu yang berdaya, terdidik, dan didukung kebijakan akan melahirkan generasi yang lebih tangguh.

Di sinilah refleksi Hari Ibu menemukan maknanya. Menghormati ibu bukan hanya dengan seremoni, tetapi dengan memastikan negara hadir melindungi anak, memperkuat keluarga, dan memberi ruang bagi perempuan untuk tumbuh.

Kasus kekerasan terhadap anak mengingatkan bahwa ketika keluarga gagal, negara harus bertindak. Namun idealnya, negara hadir lebih awal melalui pencegahan, edukasi, dan kebijakan yang berpihak.

Hari Ibu, pada akhirnya, adalah ajakan untuk bercermin. Apakah kita sudah benar-benar menjadikan rumah sebagai ruang aman. Apakah kebijakan publik sudah cukup ramah keluarga.

Dan apakah kita siap mengakui bahwa ibu bukan hanya simbol kasih, tetapi aktor utama pembangunan manusia. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menentukan arah bangsa, jauh melampaui satu hari peringatan dalam kalender.


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025