Jakarta (ANTARA) - Koalisi organisasi masyarakat sipil mendesak agar segera disusun strategi pemulihan lingkungan di daerah terdampak kebocoran minyak di lepas laut Jawa karena memerlukan waktu lama untuk memulihkannya.
"Kita proyeksikan lima tahun termasuk monitoring dampak kesehatan karena kita lihat dalam jangka panjang pasti akan ada timbul beberapa dampak jangka panjang kesehatan dan pemulihan hutan mangrove di pesisir," ungkap Juru Kampanye Greenpeace Arifsyah Nasution dalam konferensi pers di Kantor Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Mampang, Jakarta Selatan pada Rabu.
Sebelumnya, Sumur YYA-1 milik Pertamina Hulu Energi (PHE) mengalami kegagalan operasi dan menyebabkan minyak tumpah di lepas laut Jawa sejak 12 Juli 2019. Sumur minyak itu berada di anjungan lepas pantai Blok Migas Offshore North West Java (ONWJ).
Akibat tumpahan minyak di lepas pantai Karawang, Jawa Barat itu dampaknya terasa bahkan sampai ke Kepulauan Seribu, Jakarta.
Pihak Pertamina sendiri sudah menyalurkan kompensasi tahap pertama senilai Rp18,54 miliar kepada 10.271 warga yang terdampak di Karawang dan melakukan upaya pembersihan tumpahan minyak di beberapa titik.
Karena tumpahan minyak tersebut, aktivitas ekonomi di perairan terdampak sangat terhambat terutama berpengaruh kepada nelayan dan petambak. Tidak hanya itu, kebocoran itu juga mempengaruhi kondisi puluhan ribu mangrove di hutan bakau di pesisir pantai utara.
Karena itu, koalisi kelompok lingkungan meminta keterbukaan informasi akan data tentang sumur YYA-1 untuk diketahui apa penyebab kebocorannya.
"Kami sudah mengirimkan surat permohonan informasi kepada PHE. Sudah kita kirimkan tapi sampai sekarang belum ada jawaban terhadap data tersebut," ujar Pengkampanye Walhi Dwi Sawung dalam konferensi pers tersebut.
Selain Greenpeace dan Walhi, perwakilan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Forum Komunikasi Das Citarum (forkadasC+) serta Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) juga ikut menyuarakan keterbukaan informasi akan kebocoran tersebut.
"Kita proyeksikan lima tahun termasuk monitoring dampak kesehatan karena kita lihat dalam jangka panjang pasti akan ada timbul beberapa dampak jangka panjang kesehatan dan pemulihan hutan mangrove di pesisir," ungkap Juru Kampanye Greenpeace Arifsyah Nasution dalam konferensi pers di Kantor Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Mampang, Jakarta Selatan pada Rabu.
Sebelumnya, Sumur YYA-1 milik Pertamina Hulu Energi (PHE) mengalami kegagalan operasi dan menyebabkan minyak tumpah di lepas laut Jawa sejak 12 Juli 2019. Sumur minyak itu berada di anjungan lepas pantai Blok Migas Offshore North West Java (ONWJ).
Akibat tumpahan minyak di lepas pantai Karawang, Jawa Barat itu dampaknya terasa bahkan sampai ke Kepulauan Seribu, Jakarta.
Pihak Pertamina sendiri sudah menyalurkan kompensasi tahap pertama senilai Rp18,54 miliar kepada 10.271 warga yang terdampak di Karawang dan melakukan upaya pembersihan tumpahan minyak di beberapa titik.
Karena tumpahan minyak tersebut, aktivitas ekonomi di perairan terdampak sangat terhambat terutama berpengaruh kepada nelayan dan petambak. Tidak hanya itu, kebocoran itu juga mempengaruhi kondisi puluhan ribu mangrove di hutan bakau di pesisir pantai utara.
Karena itu, koalisi kelompok lingkungan meminta keterbukaan informasi akan data tentang sumur YYA-1 untuk diketahui apa penyebab kebocorannya.
"Kami sudah mengirimkan surat permohonan informasi kepada PHE. Sudah kita kirimkan tapi sampai sekarang belum ada jawaban terhadap data tersebut," ujar Pengkampanye Walhi Dwi Sawung dalam konferensi pers tersebut.
Selain Greenpeace dan Walhi, perwakilan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Forum Komunikasi Das Citarum (forkadasC+) serta Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) juga ikut menyuarakan keterbukaan informasi akan kebocoran tersebut.