Mataram (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dugaan sumber pendapatan terlarang yang diterima pihak Kantor Imigrasi Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Dugaan sumber pendapatan terlarang itu terungkap dalam sidang pemeriksaan saksi kasus suap Rp1,2 miliar yang digelar bersamaan untuk dua terdakwa Kurniadie dan Yusriansyah Fazrin, yang dihadirkan Jaksa KPK ke hadapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Mataram Isnurul Syamsul Arief, Rabu.
Terungkapnya dugaan sumber pendapatan terlarang itu berawal dari kesaksian Ayyub Abdul Muqsith, petugas Intelijen dan Penindakan Keimigrasian (Inteldakim) Mataram, ketika menjawab pertanyaan Jaksa KPK Taufiq Ibnugroho di hadapan majelis hakim.
Dalam pertanyaannya, Taufiq meminta Ayyub untuk menjelaskan terkait dugaan sumber pendapatan uang mingguan yang dia terima sebagai petugas Inteldakim Mataram dan juga penyidik PNS (PPNS).
"Jadi memang ada uang mingguan, biasa dikasih oleh Pak Yusriansyah di hari Jumat. Tapi saya tidak tahu dari mana asalnya," kata Ayyub.
Namun dia mengaku jika uang mingguan itu dia terima sejak terdakwa Yusriansyah Fazrin berdinas di Kantor Imigrasi Mataram, sebagai pejabat Kasi Inteldakim Mataram.
"Kalau tidak salah Oktober-November 2018 itu, sejak Pak Yusriansyah berdinas di Mataram, baru ada penerimaan mingguan," ujarnya.
Terkait dengan hal tersebut, Ayyub yang juga ditugaskan sebagai pemegang kas Inteldakim Mataram, memperkirakan ada sumber pendapatan lain di luar gaji dan tunjangan operasionalnya sebagai penyidik Inteldakim Mataram.
"Yang saya ketahui terkait dengan BAP paspor hilang atau rusak, itu ada penerimaan lain, ada juga uang damai dari perkara orang asing, seperti kasus Geoff dan Manikam (dua WNA penyalahguna izin tinggal yang bekerja di Wyndham Sundancer Lombok Resort)," ucapnya.
Pada dasarnya, kata dia, dalam aturan keimigrasian ada biaya yang memang harus dikeluarkan untuk paspor hilang atau rusak. Satu paspor, biayanya Rp1 juta.
Namun terkait dengan adanya fee dari setiap pembuatan ulang paspor yang rusak atau hilang, Ayyub mengaku tidak mengetahuinya. Dia menyebut nama rekannya, Abdul Haris yang ditugaskan sebagai pengelola anggaran tersebut.
"Itu Abdul Haris, dia yang kelola untuk paspor rusak. Rata-rata seharinya bisa 10-15 paspor yang diurus, biasanya yang disetorkan per minggu itu dapat Rp800-Rp1,5 juta," katanya.
Keterangan baru dalam kasus ini kembali terungkap dari pengakuan saksi Pandakotan Sijabat ketika menjawab pertanyaan Jaksa KPK soal penerimaan amplop berisi uang Rp40 juta dari seorang warga asal Korea yang pernah diperiksanya terkait kasus penyalahgunaan izin tinggal.
Namun karena telah memberikan uang damai, penanganan kasus orang asing yang bermasalah dengan izin tinggalnya itu dihentikan dan hanya mendapat sanksi administratif berupa pendeportasian.
"Karena waktu itu Pak Yusriansyah sedang umrah, penerimaan amplop ini saya koordinasikan dengan Pak Kurniadie. Beliau suruh saya pegang dulu, tunggu sampai Pak Yusriansyah pulang," kata Pandakotan.
Karena merasa kurang puas dengan jawaban Kurniadie yang saat itu masih menjabat Kakanim Mataram, untuk lebih memastikan langkah apa yang harus dia perbuat, Pandakotan kemudian menghubungi Yusriansyah Fazrin yang sedang melaksanakan ibadah umrah di tanah suci Mekkah.
"Beliau (Yusriansyah) arahkan saya untuk pegang dulu, tapi jangan simpan di kantor," ucapnya.
Mendapat instruksi dari dua atasannya, Pandakotan memutuskan untuk menyetorkan uang tersebut ke rekening pribadinya.
"Jadi semuanya saya setor tunai ke rekening saya, empat kali saya setornya. Tapi pas Pak Yusriansyah pulang umrah, baru uang saya ambil semua dan kasih ke beliau," ucapnya.
Terkait dengan maksud dan tujuan pemberian uang tersebut, Pandakotan yang juga bertugas sebagai PPNS Inteldakim Mataram ini mengaku tidak mengetahuinya. Dengan polosnya mengatakan hanya menerima uang dari orang Korea yang sedang dia periksa tersebut.
Kemudian saat disinggung penerimaan uang senilai Rp4 juta pada 1 Maret 2019 dan Rp1,5 juta pada 10 Maret 2019, Pandakotan mengakuinya menerima uang tersebut dari Yusriansyah Fazrin.
"Itu uang mingguan. Tapi saya tidak bisa jamin itu uang operasional mingguan yang dari DIPA atau bukan," ucapnya.
Pernyataan itu pun diperkuat dengan keterangan yang diungkapkan saksi Guna Putra Manik, Kasubsi Pengawasan Inteldakim Mataram.
"Jadi semua anggota Inteldakim itu dapat uang mingguan, tapi memang dapatnya tidak setiap minggu, kadang seminggu dua kali, besarnya Rp1,2-Rp2 juta," kata Guna.
Hal senada turut disampaikan saksi Putu Galih Perdana Putra, petugas analis bagian pengawasan Inteldakim Mataram. Dia mengaku tiap pekannya juga menerima uang dari Yusriansyah Rp500-Rp700 ribu.
"Biasanya itu dikasihnya via transfer," kata Putu Galih.
Dugaan sumber pendapatan terlarang itu terungkap dalam sidang pemeriksaan saksi kasus suap Rp1,2 miliar yang digelar bersamaan untuk dua terdakwa Kurniadie dan Yusriansyah Fazrin, yang dihadirkan Jaksa KPK ke hadapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Mataram Isnurul Syamsul Arief, Rabu.
Terungkapnya dugaan sumber pendapatan terlarang itu berawal dari kesaksian Ayyub Abdul Muqsith, petugas Intelijen dan Penindakan Keimigrasian (Inteldakim) Mataram, ketika menjawab pertanyaan Jaksa KPK Taufiq Ibnugroho di hadapan majelis hakim.
Dalam pertanyaannya, Taufiq meminta Ayyub untuk menjelaskan terkait dugaan sumber pendapatan uang mingguan yang dia terima sebagai petugas Inteldakim Mataram dan juga penyidik PNS (PPNS).
"Jadi memang ada uang mingguan, biasa dikasih oleh Pak Yusriansyah di hari Jumat. Tapi saya tidak tahu dari mana asalnya," kata Ayyub.
Namun dia mengaku jika uang mingguan itu dia terima sejak terdakwa Yusriansyah Fazrin berdinas di Kantor Imigrasi Mataram, sebagai pejabat Kasi Inteldakim Mataram.
"Kalau tidak salah Oktober-November 2018 itu, sejak Pak Yusriansyah berdinas di Mataram, baru ada penerimaan mingguan," ujarnya.
Terkait dengan hal tersebut, Ayyub yang juga ditugaskan sebagai pemegang kas Inteldakim Mataram, memperkirakan ada sumber pendapatan lain di luar gaji dan tunjangan operasionalnya sebagai penyidik Inteldakim Mataram.
"Yang saya ketahui terkait dengan BAP paspor hilang atau rusak, itu ada penerimaan lain, ada juga uang damai dari perkara orang asing, seperti kasus Geoff dan Manikam (dua WNA penyalahguna izin tinggal yang bekerja di Wyndham Sundancer Lombok Resort)," ucapnya.
Pada dasarnya, kata dia, dalam aturan keimigrasian ada biaya yang memang harus dikeluarkan untuk paspor hilang atau rusak. Satu paspor, biayanya Rp1 juta.
Namun terkait dengan adanya fee dari setiap pembuatan ulang paspor yang rusak atau hilang, Ayyub mengaku tidak mengetahuinya. Dia menyebut nama rekannya, Abdul Haris yang ditugaskan sebagai pengelola anggaran tersebut.
"Itu Abdul Haris, dia yang kelola untuk paspor rusak. Rata-rata seharinya bisa 10-15 paspor yang diurus, biasanya yang disetorkan per minggu itu dapat Rp800-Rp1,5 juta," katanya.
Keterangan baru dalam kasus ini kembali terungkap dari pengakuan saksi Pandakotan Sijabat ketika menjawab pertanyaan Jaksa KPK soal penerimaan amplop berisi uang Rp40 juta dari seorang warga asal Korea yang pernah diperiksanya terkait kasus penyalahgunaan izin tinggal.
Namun karena telah memberikan uang damai, penanganan kasus orang asing yang bermasalah dengan izin tinggalnya itu dihentikan dan hanya mendapat sanksi administratif berupa pendeportasian.
"Karena waktu itu Pak Yusriansyah sedang umrah, penerimaan amplop ini saya koordinasikan dengan Pak Kurniadie. Beliau suruh saya pegang dulu, tunggu sampai Pak Yusriansyah pulang," kata Pandakotan.
Karena merasa kurang puas dengan jawaban Kurniadie yang saat itu masih menjabat Kakanim Mataram, untuk lebih memastikan langkah apa yang harus dia perbuat, Pandakotan kemudian menghubungi Yusriansyah Fazrin yang sedang melaksanakan ibadah umrah di tanah suci Mekkah.
"Beliau (Yusriansyah) arahkan saya untuk pegang dulu, tapi jangan simpan di kantor," ucapnya.
Mendapat instruksi dari dua atasannya, Pandakotan memutuskan untuk menyetorkan uang tersebut ke rekening pribadinya.
"Jadi semuanya saya setor tunai ke rekening saya, empat kali saya setornya. Tapi pas Pak Yusriansyah pulang umrah, baru uang saya ambil semua dan kasih ke beliau," ucapnya.
Terkait dengan maksud dan tujuan pemberian uang tersebut, Pandakotan yang juga bertugas sebagai PPNS Inteldakim Mataram ini mengaku tidak mengetahuinya. Dengan polosnya mengatakan hanya menerima uang dari orang Korea yang sedang dia periksa tersebut.
Kemudian saat disinggung penerimaan uang senilai Rp4 juta pada 1 Maret 2019 dan Rp1,5 juta pada 10 Maret 2019, Pandakotan mengakuinya menerima uang tersebut dari Yusriansyah Fazrin.
"Itu uang mingguan. Tapi saya tidak bisa jamin itu uang operasional mingguan yang dari DIPA atau bukan," ucapnya.
Pernyataan itu pun diperkuat dengan keterangan yang diungkapkan saksi Guna Putra Manik, Kasubsi Pengawasan Inteldakim Mataram.
"Jadi semua anggota Inteldakim itu dapat uang mingguan, tapi memang dapatnya tidak setiap minggu, kadang seminggu dua kali, besarnya Rp1,2-Rp2 juta," kata Guna.
Hal senada turut disampaikan saksi Putu Galih Perdana Putra, petugas analis bagian pengawasan Inteldakim Mataram. Dia mengaku tiap pekannya juga menerima uang dari Yusriansyah Rp500-Rp700 ribu.
"Biasanya itu dikasihnya via transfer," kata Putu Galih.