Mataram (ANTARA) - Seorang pejabat Kantor Imigrasi Mataram, menyebutkan ada setoran yang bahasanya "uang kontribusi bulanan" untuk Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) NTB.
Adanya setoran itu terungkap dari keterangan Gede Semarajaya, Kasi Lalu Lintas Keimigrasian (Lantaskim) Mataram, ketika dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK ke hadapan majelis hakim sebagai saksi dalam persidangan Kurniadie dan Yusriansyah Fazrin yang digelar bersamaan di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Rabu.
"Jadi seingat saya itu mulainya akhir tahun 2018 atau kalau tidak salah awal tahun 2019, itu awalnya dirapatkan, semua kasi dipanggil oleh kepala kantor (Kurniadie), yang intinya kita diminta harus ada kontribusi tiap bulan ke kanwil," kata Semarajaya ke hadapan majelis hakim yang diketuai Isnurul Syamsul Arief.
Namun dari sekian banyak kepala seksi yang hadir ke hadapan terdakwa Kurniadie, yang kala itu masih menjabat sebagai Kepala Kantor Imigrasi Mataram, hanya tiga orang yang dikatakannya diberikan beban mengeluarkan setoran.
"Sebenarnya ada lima seksi, tapi tidak tahu kenapa cuma kita bertiga saja (diminta keluarkan setoran), kalau yang lain tidak tahu," ujarnya.
Kemudian saat Jaksa KPK Taufiq Ibnugroho menyinggung soal besarnya setoran, Semarajaya mengatakan, hal tersebut langsung ditentukan dalam rapat oleh Kurniadie.
"Kepala kantor (Kurniadie) yang langsung menentukan, Untuk Lantaskim Rp10 juta, Inteldakim Rp10 juta, ULP Lombok Timur Rp10 juta," ujarnya.
Namun demikian, dikatakannya, setoran itu tidak rutin diberikan ke Kanwil Kemenkumham NTB. Jika ada pendapatan lebih, maka setoran harus diberikan melalui Kurniadie.
"Jadi seingat saya itu (setoran) mulai Desember 2018, Mei 2019 itu tidak ada (setoran). Tapi itu tidak rutin tiap bulan ada, tidak juga harus ada, kalau ada pendapatan, baru diberikan," ucapnya.
Selanjutnya Jaksa KPK pun menanyakan kepada saksi yang bertanggung jawab dalam pembuatan paspor tersebut, terkait dengan asal-usul uang kontribusi bulanan.
Pada awalnya, Semarajaya mengungkapkan uang tersebut berasal dari fee (biaya setoran) yang diberikan oleh biro jasa pembuatan paspor.
"Setorannya itu Rp500 ribu sampai Rp1 juta per paspor. Itu sesuai keterangan biro jasa yang datang ke ruangan saya setelah mereka bilang sudah bertemu dengan kepala kantor (Kurniadie)," ujarnya.
Namun dari sekian banyak biro jasa, kata dia, jasa perjalanan umroh dan haji tidak dikenakan biaya setoran. Biaya setoran itu lebih banyak datang dari pembuatan paspor umum.
"Jadi dalam sehari itu ada sekitar 15-20 pemohon yang ada setorannya, itu yang kumpulkan Pak Sahrul Mulyadi, dan itu saya sampaikan ke kepala kantor (Kurniadie)," ucapnya.
Untuk rata-rata biaya setoran per hari yang masuk kantong imigrasi itu jumlahnya mencapai Rp20 juta-Rp30 juta. Bila dikalkulasikan per pekannya, biaya setoran paling besar yang pernah dia laporkan ke Kurniadie itu mencapai Rp80 juta.
"Tapi itu tidak setiap hari ada yang urus, kadang dua-tiga hari kosong," kata Semarajaya.
Untuk proses penyetorannya, kata dia, Semarajaya yang langsung berurusan dengan Kurniadie. Setiap pekan, uang yang terkumpul dia laporkan.
"Jadi uang yang diterima Pak Sahrul dan ada yang langsung ke saya, itu saya sampaikan ke kepala kantor, setelah dipotong jatahnya, sisanya itu yang saya bagi-bagi ke anggota," ujarnya.
Terkait dengan nominal angka yang didapatkan Kurniadie tiap pekan dari biaya setoran tersebut, Semarajaya menaksirkan hampir 60-70 persen.
"Kalau yang dari Rp80 juta itu yang banyak dapatnya (Kurniadie) kalau tidak salah Rp40 juta-Rp50 juta," ucapnya.
Dari sisanya, Semarajaya mengaku mendapatkan Rp15 juta. "Tapi itu pun saya bagi-bagi lagi dengan anggota," tambahnya.
Selain itu, ada lagi biaya setoran dari Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Namun uang dari kantong PJTKI tidak menjadi target pendapatan dan juga nominalnya tidak sebanyak yang diterima dari pembuatan paspor umum.
"Kalau PJTKI itu Rp75 ribu per paspor, jadi itu diminta simpan ke kas (Lantaskim Mataram), kalau ada pengeluaran tak terduga, itu bisa dipakai, seperti untuk 'entertain' (menghibur) tamu," ucapnya.
Jika seluruhnya dikalkulasikan, terhitung sejak perintah tersebut dijalankan pada Januari hingga April 2019, biaya setoran yang telah diberikan ke Kurniadie sebesar Rp387,5 juta. Nominal itu sesuai dengan berita acara pemeriksaan (BAP) Semarajaya di hadapan penyidik KPK.
"Setorannya kadang lewat transfer, kadang juga langsung tunai. Totalnya itu saya gak ingat," kata Semarajaya.
Karenanya dikatakan bahwa uang kontribusi bulanan yang disetorkan Seksi Lantaskim Mataram melalui Kurniadie ke Kanwil Kemenkumham NTB itu berasal dari pendapatan biaya setoran tersebut.
Adanya setoran itu terungkap dari keterangan Gede Semarajaya, Kasi Lalu Lintas Keimigrasian (Lantaskim) Mataram, ketika dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK ke hadapan majelis hakim sebagai saksi dalam persidangan Kurniadie dan Yusriansyah Fazrin yang digelar bersamaan di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Rabu.
"Jadi seingat saya itu mulainya akhir tahun 2018 atau kalau tidak salah awal tahun 2019, itu awalnya dirapatkan, semua kasi dipanggil oleh kepala kantor (Kurniadie), yang intinya kita diminta harus ada kontribusi tiap bulan ke kanwil," kata Semarajaya ke hadapan majelis hakim yang diketuai Isnurul Syamsul Arief.
Namun dari sekian banyak kepala seksi yang hadir ke hadapan terdakwa Kurniadie, yang kala itu masih menjabat sebagai Kepala Kantor Imigrasi Mataram, hanya tiga orang yang dikatakannya diberikan beban mengeluarkan setoran.
"Sebenarnya ada lima seksi, tapi tidak tahu kenapa cuma kita bertiga saja (diminta keluarkan setoran), kalau yang lain tidak tahu," ujarnya.
Kemudian saat Jaksa KPK Taufiq Ibnugroho menyinggung soal besarnya setoran, Semarajaya mengatakan, hal tersebut langsung ditentukan dalam rapat oleh Kurniadie.
"Kepala kantor (Kurniadie) yang langsung menentukan, Untuk Lantaskim Rp10 juta, Inteldakim Rp10 juta, ULP Lombok Timur Rp10 juta," ujarnya.
Namun demikian, dikatakannya, setoran itu tidak rutin diberikan ke Kanwil Kemenkumham NTB. Jika ada pendapatan lebih, maka setoran harus diberikan melalui Kurniadie.
"Jadi seingat saya itu (setoran) mulai Desember 2018, Mei 2019 itu tidak ada (setoran). Tapi itu tidak rutin tiap bulan ada, tidak juga harus ada, kalau ada pendapatan, baru diberikan," ucapnya.
Selanjutnya Jaksa KPK pun menanyakan kepada saksi yang bertanggung jawab dalam pembuatan paspor tersebut, terkait dengan asal-usul uang kontribusi bulanan.
Pada awalnya, Semarajaya mengungkapkan uang tersebut berasal dari fee (biaya setoran) yang diberikan oleh biro jasa pembuatan paspor.
"Setorannya itu Rp500 ribu sampai Rp1 juta per paspor. Itu sesuai keterangan biro jasa yang datang ke ruangan saya setelah mereka bilang sudah bertemu dengan kepala kantor (Kurniadie)," ujarnya.
Namun dari sekian banyak biro jasa, kata dia, jasa perjalanan umroh dan haji tidak dikenakan biaya setoran. Biaya setoran itu lebih banyak datang dari pembuatan paspor umum.
"Jadi dalam sehari itu ada sekitar 15-20 pemohon yang ada setorannya, itu yang kumpulkan Pak Sahrul Mulyadi, dan itu saya sampaikan ke kepala kantor (Kurniadie)," ucapnya.
Untuk rata-rata biaya setoran per hari yang masuk kantong imigrasi itu jumlahnya mencapai Rp20 juta-Rp30 juta. Bila dikalkulasikan per pekannya, biaya setoran paling besar yang pernah dia laporkan ke Kurniadie itu mencapai Rp80 juta.
"Tapi itu tidak setiap hari ada yang urus, kadang dua-tiga hari kosong," kata Semarajaya.
Untuk proses penyetorannya, kata dia, Semarajaya yang langsung berurusan dengan Kurniadie. Setiap pekan, uang yang terkumpul dia laporkan.
"Jadi uang yang diterima Pak Sahrul dan ada yang langsung ke saya, itu saya sampaikan ke kepala kantor, setelah dipotong jatahnya, sisanya itu yang saya bagi-bagi ke anggota," ujarnya.
Terkait dengan nominal angka yang didapatkan Kurniadie tiap pekan dari biaya setoran tersebut, Semarajaya menaksirkan hampir 60-70 persen.
"Kalau yang dari Rp80 juta itu yang banyak dapatnya (Kurniadie) kalau tidak salah Rp40 juta-Rp50 juta," ucapnya.
Dari sisanya, Semarajaya mengaku mendapatkan Rp15 juta. "Tapi itu pun saya bagi-bagi lagi dengan anggota," tambahnya.
Selain itu, ada lagi biaya setoran dari Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Namun uang dari kantong PJTKI tidak menjadi target pendapatan dan juga nominalnya tidak sebanyak yang diterima dari pembuatan paspor umum.
"Kalau PJTKI itu Rp75 ribu per paspor, jadi itu diminta simpan ke kas (Lantaskim Mataram), kalau ada pengeluaran tak terduga, itu bisa dipakai, seperti untuk 'entertain' (menghibur) tamu," ucapnya.
Jika seluruhnya dikalkulasikan, terhitung sejak perintah tersebut dijalankan pada Januari hingga April 2019, biaya setoran yang telah diberikan ke Kurniadie sebesar Rp387,5 juta. Nominal itu sesuai dengan berita acara pemeriksaan (BAP) Semarajaya di hadapan penyidik KPK.
"Setorannya kadang lewat transfer, kadang juga langsung tunai. Totalnya itu saya gak ingat," kata Semarajaya.
Karenanya dikatakan bahwa uang kontribusi bulanan yang disetorkan Seksi Lantaskim Mataram melalui Kurniadie ke Kanwil Kemenkumham NTB itu berasal dari pendapatan biaya setoran tersebut.