Kuala Lumpur/Phnom Penh (ANTARA) - Tokoh oposisi Kamboja yang mengasingkan diri, Sam Rainsy, mendarat di ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur, Sabtu, menurut seorang saksi mata Reuters, setelah berjanji untuk kembali ke Kamboja guna menjadi penentang penguasa otoriter Hun Sen.
Sam Rainsy dicegah menaiki penerbangan Thai Airways dari Paris ke Thailand pada Kamis. Dia dan para pemimpin lain dari partai oposisi yang dilarang mengatakan bahwa mereka ingin kembali ke Kamboja dengan melintasi perbatasan darat dengan Thailand.
Ditanya bagaimana dia pikir dia akan disambut di Kuala Lumpur, Sam Rainsy mengatakan kepada Reuters di penerbangan:
"Tidak tahu! Sesuatu antara karpet merah dan borgol."
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang pemerintahnya telah menangkap sekitar 50 pegiat oposisi di dalam Kamboja dalam beberapa pekan terakhir, telah menyebut upaya Sam Rainsy dan beberapa rekannya untuk kembali dan mengadakan demonstrasi sebagai upaya kudeta.
Juru bicara pemerintah Phay Siphan mengatakan bahwa jika Sam Rainsy kembali, dia akan menghadapi dakwaan yang berat di pengadilan.
"Jika dia datang untuk menyebabkan ketidakstabilan dan kekacauan, kita akan menghancurkannya," katanya.
Di ibu kota Kamboja, Phnom Penh, pasukan keamanan berpatroli dengan truk pick-up pada hari yang menandai peringatan 66 tahun kemerdekaan Kamboja dari Prancis.
Pada Minggu dan Senin, Kamboja merayakan festival air tahunan.
Polisi bersenjatakan senapan serbu berbaris di perbatasan Poipet Kamboja yang berseberangan dengan Thailand, tempat Sam Rainsy mengatakan dia berencana untuk menyeberang, menurut foto yang diunggah di Twitter oleh Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja.
"Kami tidak akan menghentikan orang-orang biasa masuk dan keluar, kami hanya menghentikan pemberontak," kata juru bicara kepolisian nasional Chhay Kim Khoeun.
Sam Rainsy, pendiri Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) yang dilarang, melarikan diri empat tahun lalu menyusul hukuman pencemaran nama baik. Dia juga menghadapi hukuman lima tahun dalam kasus terpisah. Dia mengatakan tuduhan itu bermotif politik.
Sam Rainsy, 70, mantan menteri keuangan yang biasanya memakai kacamata berbingkai besar, telah menjadi lawan Hun Sen sejak 1990-an. Dia juga berjanji untuk kembali ke Kamboja pada tahun 2015 meskipun ada ancaman untuk menangkapnya, tetapi tidak melakukannya.
Pemimpin CNRP, Kem Sokha, berada di tahanan rumah di Kamboja setelah ditangkap lebih dari dua tahun lalu dan didakwa melakukan pengkhianatan menjelang pemilihan umum 2018 yang dikecam oleh negara-negara Barat sebagai lelucon.
Amerika Serikat pada Jumat menyatakan keprihatinannya atas tindakan keras Kamboja terhadap oposisi.
Amnesty International mengecam kerja sama Malaysia dan Thailand untuk mencegah tokoh oposisi Kamboja yang tinggal di luar negeri pulang.
Sebelum usaha Sam Rainsy gagal naik pesawat ke Thailand, Malaysia menahan Mu Sochua, wakil presiden partainya yang berbasis di A.S., di bandara sebelum melepaskannya 24 jam kemudian bersama dengan dua pemimpin oposisi Kamboja lainnya yang ditahan sebelumnya.
"Kami akan melanjutkan perjalanan kami pulang," kata Mu Suchua di Twitter pada Sabtu pagi. "9 November ditandai dalam sejarah sebagai perjuangan kita untuk demokrasi."
Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh Malaysia, Vietnam, Kamboja dan Thailand menahan dan mencegah kritik terhadap pemerintah tetangga, bahkan mereka yang berstatus pengungsi PBB.
Sam Rainsy dicegah menaiki penerbangan Thai Airways dari Paris ke Thailand pada Kamis. Dia dan para pemimpin lain dari partai oposisi yang dilarang mengatakan bahwa mereka ingin kembali ke Kamboja dengan melintasi perbatasan darat dengan Thailand.
Ditanya bagaimana dia pikir dia akan disambut di Kuala Lumpur, Sam Rainsy mengatakan kepada Reuters di penerbangan:
"Tidak tahu! Sesuatu antara karpet merah dan borgol."
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, yang pemerintahnya telah menangkap sekitar 50 pegiat oposisi di dalam Kamboja dalam beberapa pekan terakhir, telah menyebut upaya Sam Rainsy dan beberapa rekannya untuk kembali dan mengadakan demonstrasi sebagai upaya kudeta.
Juru bicara pemerintah Phay Siphan mengatakan bahwa jika Sam Rainsy kembali, dia akan menghadapi dakwaan yang berat di pengadilan.
"Jika dia datang untuk menyebabkan ketidakstabilan dan kekacauan, kita akan menghancurkannya," katanya.
Di ibu kota Kamboja, Phnom Penh, pasukan keamanan berpatroli dengan truk pick-up pada hari yang menandai peringatan 66 tahun kemerdekaan Kamboja dari Prancis.
Pada Minggu dan Senin, Kamboja merayakan festival air tahunan.
Polisi bersenjatakan senapan serbu berbaris di perbatasan Poipet Kamboja yang berseberangan dengan Thailand, tempat Sam Rainsy mengatakan dia berencana untuk menyeberang, menurut foto yang diunggah di Twitter oleh Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja.
"Kami tidak akan menghentikan orang-orang biasa masuk dan keluar, kami hanya menghentikan pemberontak," kata juru bicara kepolisian nasional Chhay Kim Khoeun.
Sam Rainsy, pendiri Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) yang dilarang, melarikan diri empat tahun lalu menyusul hukuman pencemaran nama baik. Dia juga menghadapi hukuman lima tahun dalam kasus terpisah. Dia mengatakan tuduhan itu bermotif politik.
Sam Rainsy, 70, mantan menteri keuangan yang biasanya memakai kacamata berbingkai besar, telah menjadi lawan Hun Sen sejak 1990-an. Dia juga berjanji untuk kembali ke Kamboja pada tahun 2015 meskipun ada ancaman untuk menangkapnya, tetapi tidak melakukannya.
Pemimpin CNRP, Kem Sokha, berada di tahanan rumah di Kamboja setelah ditangkap lebih dari dua tahun lalu dan didakwa melakukan pengkhianatan menjelang pemilihan umum 2018 yang dikecam oleh negara-negara Barat sebagai lelucon.
Amerika Serikat pada Jumat menyatakan keprihatinannya atas tindakan keras Kamboja terhadap oposisi.
Amnesty International mengecam kerja sama Malaysia dan Thailand untuk mencegah tokoh oposisi Kamboja yang tinggal di luar negeri pulang.
Sebelum usaha Sam Rainsy gagal naik pesawat ke Thailand, Malaysia menahan Mu Sochua, wakil presiden partainya yang berbasis di A.S., di bandara sebelum melepaskannya 24 jam kemudian bersama dengan dua pemimpin oposisi Kamboja lainnya yang ditahan sebelumnya.
"Kami akan melanjutkan perjalanan kami pulang," kata Mu Suchua di Twitter pada Sabtu pagi. "9 November ditandai dalam sejarah sebagai perjuangan kita untuk demokrasi."
Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh Malaysia, Vietnam, Kamboja dan Thailand menahan dan mencegah kritik terhadap pemerintah tetangga, bahkan mereka yang berstatus pengungsi PBB.