Mataram (ANTARA) - Orgonisasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki) Nusa Tenggara Barat menunggu putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
"Kami menunggu putusan terhadap apa langkah yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP) yang mengajukan gugatan ke MK beberapa hari lalu," kata Ketua Dewan Pengurus Daerah Aspataki NTB, Lalu Didiek Yuliadi, di Mataram, Minggu.
Ia mengatakan DPP Aspataki mengajukan gugatan UU Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, karena Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) wajib membayar modal setor sebesar Rp5 miliar dari sebelumnya hanya Rp3 miliar.
Aspataki juga menginginkan penundaan diberlakukannya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 tahun 2019 yang memerintahkan P3MI untuk menyetorkan deposito uang jaminan sebesar Rp1,5 miliar, dari sebelumnya hanya Rp500 juta.
Menurut Didiek, aturan yang mewajibkan modal setor sebesar Rp5 miliar dan deposito jaminan Rp1,5 miliar belum jelas latar belakangnya.
Regulasi tersebut justru membebani, namun di satu sisi membatasi ruang gerak pengusaha untuk merekrut dan menempatkan calon PMI ke luar negeri sesuai dengan kebutuhan perusahaan di negara penempatan.
Aturan itu juga akan menyulitkan P3MI untuk mengetahui kualitas calon PMI yang akan diberangkatkan ke negara penempatan.
"Yang merekrut calon PMI pemerintah sesuai aturan yang berlaku saat ini, begitu juga yang melindungi pemerintah. Kenapa kita yang harus dibebankan, padahal kita yang harus menerima dan mencarikan pekerjaan di luar negeri," ucapnya pula.
Untuk itu, kata dia, upaya mengajukan gugatan ke MK sebagai bentuk bukti bahwa Aspataki sudah menunjukkan perjuangannya untuk mempertanyakan kebijakan kepada pemerintah.
"Organisasi sudah sering membuat surat ke Presiden dan kementerian serta DPR. Upaya tersebut bukan hanya untuk kepentingan Aspataki, tapi seluruh organisasi perusahaan penempatan TKI," kata Didiek.
"Kami menunggu putusan terhadap apa langkah yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP) yang mengajukan gugatan ke MK beberapa hari lalu," kata Ketua Dewan Pengurus Daerah Aspataki NTB, Lalu Didiek Yuliadi, di Mataram, Minggu.
Ia mengatakan DPP Aspataki mengajukan gugatan UU Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, karena Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) wajib membayar modal setor sebesar Rp5 miliar dari sebelumnya hanya Rp3 miliar.
Aspataki juga menginginkan penundaan diberlakukannya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 tahun 2019 yang memerintahkan P3MI untuk menyetorkan deposito uang jaminan sebesar Rp1,5 miliar, dari sebelumnya hanya Rp500 juta.
Menurut Didiek, aturan yang mewajibkan modal setor sebesar Rp5 miliar dan deposito jaminan Rp1,5 miliar belum jelas latar belakangnya.
Regulasi tersebut justru membebani, namun di satu sisi membatasi ruang gerak pengusaha untuk merekrut dan menempatkan calon PMI ke luar negeri sesuai dengan kebutuhan perusahaan di negara penempatan.
Aturan itu juga akan menyulitkan P3MI untuk mengetahui kualitas calon PMI yang akan diberangkatkan ke negara penempatan.
"Yang merekrut calon PMI pemerintah sesuai aturan yang berlaku saat ini, begitu juga yang melindungi pemerintah. Kenapa kita yang harus dibebankan, padahal kita yang harus menerima dan mencarikan pekerjaan di luar negeri," ucapnya pula.
Untuk itu, kata dia, upaya mengajukan gugatan ke MK sebagai bentuk bukti bahwa Aspataki sudah menunjukkan perjuangannya untuk mempertanyakan kebijakan kepada pemerintah.
"Organisasi sudah sering membuat surat ke Presiden dan kementerian serta DPR. Upaya tersebut bukan hanya untuk kepentingan Aspataki, tapi seluruh organisasi perusahaan penempatan TKI," kata Didiek.