Wabah corona dan tanggung jawab konstitusional negara

id Corona,Covid-19,UUD 1945

Wabah corona dan tanggung jawab konstitusional negara

TM Luthfi Yazid.

Mataram (ANTARA) - “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum…” (Preambule/Pembukaan UUD 1945).

Demikianlah bunyi pembukaan UUD 1945. Begitulah perjanjian luhur berdirinya bangsa dan negara Indonesia. Artinya, negara mempunyai tanggungjawab konstitusional untuk melindungi seluruh “tumpah darah Indonesia”.

Itulah kesepakatan agung dan “meta-norm” yang mesti diwujudkan. Apakah negara melalui organnya yang bernama pemerintah telah memberikan perlindungan maksimal sebagaimana amanat konstitusi tersebut?
       
Virus corona yang bermula dari episentrum corona yakni Kota Wuhan Provinsi Hubei di China dan sangat mematikan itu telah menyebar hampir di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia.
       
Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa corona merupakan pandemik dan Sekjen WHO meminta kepada Presiden RI Jokowi untuk menetapkan status darurat terhadap wabah corona di Indonesia.
       
Dikatakan sebagai pandemik karena penyebaran wabah corona sangat cepat dan meluas di berbagai belahan dunia. Jadi, sifatnya mengglobal dan bukan lagi nasional.  
       
Sayangnya sejak awal pernyataan para pemangku kebijakan di tanah air banyak yang saling berbenturan, meskipun pada akhirnya pemerintah menetapkan status wabah corona sebagai Bencana Nasional. 
       
Awalnya, beberapa pejabat negara dan elite di negeri ini merasa “pede” seolah-olah virus corona tidak akan sampai ke tanah air. Tapi fakta berkata lain dan ini pelajaran yang sangat berharga.
       
Pada 2 Maret 2020 Indonesia secara resmi kemudian mengakui merebaknya Covid-19, dimana Presiden Jokowi mengumumkan adanya dua pasien pertama yang terkena virus tersebut. 
       
Beberapa waktu kemudian Presiden mengungkapkan agar masyarakat tidak panik sambil mengatakan bahwa Pemerintah memang “menyembunyikan” sebagian informasi tentang korban corona agar masyarakat tidak panik.
       
“Memang ada yang kita sampaikan dan ada yang tidak kita sampaikan. Karena kita tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan di tengah masyarakat,” kata Presiden (13/3/2020).
       
Dalam soal ini berarti memang sengaja ada informasi yang disembunyikan. Meskipun tujuannya mungkin baik, namun informasi yang ditutup-tutupi sejatinya dapat menjadi bumerang. 
       
Dalam upaya meyakinkan masyarakat, Presiden Jokowi juga memperagakan bagaimana cara mencuci tangan yang benar serta  mempromosikan bahwa Presiden meminum jahe tiga kali sehari untuk menangkal corona. 
       
Tidak ketinggalan, Juru Bicara Kepresidenan Fajroel Rachman mengatakan bahwa Presiden Jokowi telah menelepon Sekjen WHO dan Indonesia telah menjalankan saran-saran dari WHO.
       
Sementara itu beberapa kepala daerah sikapnya berbeda-beda dalam menanggapi penyebaran virus corona. Ada yang menganggap corona bukan ancaman yang serius, bahkan ada yang menganggap demam berdarah (DBD) dan flu lebih berbahaya dari corona. 
       
Ada juga Pemerintah Daerah yang mempersilakan wisatawan untuk berduyun-duyun datang ke daerahnya dengan jaminan bahwa daerahnya aman. Namun ada juga Pemerintah Daerah yang sejak awal antisipatif seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Bahkan Anies menutup semua sekolah selama dua pekan dengan terus mengambil langkah-langkah yang konkret untuk keselamatan warga Jakarta. Penutupan sekolah selama dua pekan kemudian diikuti oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan beberapa kepala daerah lainnya.
       
Di kalangan kampus atau universitas juga beraneka macam reaksinya. Ada yang tanggap dan langsung menutup kegiatan perkuliahan dan mengadakan perkuliahan secara online, tapi ada juga yang santai saja dan menyatakan “ketakutan terhadap corona adalah lebay (berlebihan)”. 
       
Begitu pula organisasi keagamaan serta berbagai organisasi profesi menyampaikan seruannya sendiri-sendiri agar warganya berhati-hati dan tidak panik terkait adanya wabah corona. 
       
Reaksi berbagai negara juga bermacam-macam. China, Iran, Italia, Korea, Malaysia, Spanyol, Singapura, dan Hongkong mempunyai strateginya sendiri-sendiri. 
       
Tetapi sebagian besar negara-negara di dunia meresponnya secara antisipatif-proaktif, bahkan ada yang dengan cepat melakukan lockdown maupun isolasi.
       
Ada juga yang mendirikan tambahan rumah sakit dalam waktu yang sangat cepat untuk dapat menampung semakin banyaknya jumlah pasien serta melakukan penutupan tempat ibadah dan sekolah. 
       
Donald Trump, Presiden AS, malahan melarang warga Eropa untuk berkunjung ke negaranya. Trump bahkan menyatakannya sebagai Darurat Nasional (A National Emergency).
       
Sudah banyak korban berjatuhan di berbagai belahan dunia, dan kepanikan terjadi di mana-mana. BBC mencatat bahwa wabah corona  lebih buruk dari SARS atau krisis ekonomi 2008, maupun tragedi 911 ( 11 September 2001, serangan terhadap WTC di New York dan Pentagon di Arlington, Virginia).
       
Akibat dari wabah corona ini juga telah banyak event dan acara nasional maupun international yang ditunda atau dibatalkan. Selain itu banyak perusahaan diperkirakan akan tutup serta akan terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Corona diperkirakan akan mendatangkan “kiamat ekonomi” yang luar biasa.
       
Saat ini upaya yang diperlukan adalah konsistensi strategi dalam menghadapi pandemik global ini. Jadi tidak boleh berjalan sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi, dari pemerintahan pusat, daerah, sampai ke tingkat kelurahan dan RT.
       
Informasi untuk pencegahan wabah corona harus bersifat transparan dan masyarakat harus mengetahuinya, sehingga ada upaya kolektif untuk meminimalisasi penyebaran wabah corona. 
       
Pejabat juga tidak boleh berpendapat sekenanya terkait Covid-19 jika tidak memiliki kompetensi, terutama yang terkait urusan medis. Informasi dari pemerintah harus solid, integratif dan solutif.
       
Masyarakat tidak membutuhkan perdebatan dan silang pendapat yang kontra-produktif. Tetapi di sisi lain masyarakat juga harus kompak dan saling membantu serta berusaha dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk membendung semakin menyebarnya virus corona yang mematikan itu.
       
Dalam kaitan ini, transparansi adalah bagian dari tanggungjawab pemerintah kepada publik, sebab masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi kesehatan yang akurat dan benar (right to obtain information). 
       
Masyarakat juga memiliki hak untuk dilindungi serta untuk dipenuhi hak-hak kesehatannya. Ini adalah hak konstitusional warga negara serta merupakan kewajiban konstitusional negara sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945, dimana negara mempunyai kewajiban melindungi “seluruh tumpah darah Indonesia”.
       
Konsekuensinya, negara harus menyampaikan kepada publik mengenai apa saja rencana, langkah, dan strategi kebijakan yang telah dan akan dilakukan, bagaimana regulasinya, simulasinya, penanganan dampaknya, berapa dana yang disediakan, dan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. 
       
Tidak kalah pentingnya, ketentuan pelarangan berkumpul lebih dari 500 orang (misalnya) harus segera dibuat. Bukankah sebentar lagi juga akan masuk bulan Ramadhan dan menghadapi masa mudik Lebaran? 
       
Jika hal ini tidak diantisipasi, maka pada saat mudik Lebaran, virus corona dapat makin menyebar ke seantero nusantara. Apakah pemerintah dan kita sudah siap dengan kondisi terburuk? 
       
Apakah Rumah Sakit yang ada memadai untuk menampung pasien-pasien yang terkena Covid-19 jika jumlah pasiennya sangat besar? Bagaimana dengan pasien yang tidak mampu? Bagaimana dengan sistem kesehatan nasional kita? Semua itu adalah kewajiban konstitusional pemerintah.
       
Kebijakan harus dibuat terbuka, transparan, dan maksimal dalam menghadapi krisis dan wabah corona yang belum pernah terjadi sebelumnya. Semoga rakyat dan bangsa Indonesia dilindungi dari berbagai macam wabah penyakit lahir dan batin serta dari marabahaya.

*Penulis, Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI); alumnus UGM dan School of Law, University of Warwick (United Kingdom); LEAD Program, New York; serta staf peneliti dan pengajar di University of Gakushuin, Tokyo ( 2010-2011).