POLDA-UNRAM UMUMKAN HASIL PENELITIAN KONFLIK KOMUNAL

id



          Mataram, 21/6 (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat dan Universitas Mataram mengumumkan hasil penelitian bersama tentang konflik komunal yang belakangan ini sering terjadi. 

    Hasil penelitian itu diumumkan ke publik melalui media massa oleh Rektor Universitas Mataram (Unram) Prof Dr H Sunarpi PhD dan Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Barat (NTB) Kombes Pol Soebagyo, di Mataram, Senin.

         Sunarpi dan Soebagyo berharap hasil penelitian tentang konflik komunal di daerah rawan konflik di Pulau Lombok dan Sumbawa dapat bermanfaat untuk semua pihak.   

    Keduanya juga menghendaki jalinan kerja sama bidang penelitian antara Unram dan Polda NTB terus berlangsung di masa mendatang.

         "Kami harapkan kerja sama penelitian itu terus berlanjut dan pers membantu mempublikasikan hasilnya," ujar Sunarpi.

         Soebagyo mengatakan hasil penelitian bersama itu merupakan hasil observasi lapangan yang dilakukan tim peneliti Unram dan Polda NTB baik konflik horizontal maupun vertikal yang sering terjadi di daerah ini.

         "Kami mengakui pentingnya penyebaran informasi hasil penelitian bersama agar diketahui masyarakat luas, terutama yang bermukim di daerah konflik tersebut," ujarnya.

         Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Unram HM Natsir selaku Ketua Tim Peneliti Konflik Komunal di NTB mengatakan penelitian bersama  dilakukan di dua lokasi yang belakangan ini sering terjadi konflik komunal.

         Kedua lokasi itu adalah Desa Ketara, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, dan Desa Renda dan Desa Ngali, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima.

         Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan etnografi yakni dekripsi dan interpretasi budaya kelompok sosial dan masyarakat di daerah konflik tersebut.

         "Ada dua parameter diteliti yitu faktor penyebab konflik komunal dan upaya pihak terkait seperti pemerintah daerah, aparat kepolisian dan masyarakat setempat," ujarnya.

         Natsir mengatakan dari penelitian yang dilakukan di kedua lokasi daerah konflik itu disimpulkan bahwa konflik terjadi karena adanya solidaritas mekanis masyarakat hingga munculnya solidaritas kolektif yang sempit.

         "Akibatnya mempermudah pecahnya konflik komunal di tengah-tengah masyarakat," katanya.

         Selain itu, kondisi masyarakat di daerah konflik itu "anomi" atau "normlessnesss" yakni adanya stadium masyarakat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

         "Dalam kondisi seperti itu tidak ada tokoh panutan yang didengar, dan norma-norma yang ada pada masyarakat umumnya tidak ditaati dan ditakuti, kearifan lokal seperti musyawarah dan gotong royong juga mulai ditinggalkan," ujarnya.

         Hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa konflik yang terjadi sering kali karena penanganan pemicu (trigger) yang lambat diantisipasi oleh aparat kepolisian karena terpaku oleh mekanisme normatif, tidak adanya kerja sama dan komunikasi yang baik antara pemerintah desa dan TNI.

         Ia mengatakan kesimpulan lain bahwa pemerintah cenderung bertindak seperti pemadam kebakaran namun tidak menyelesaikan akar masalah dari konflik tersebut, bahkan di beberapa lokasi cenderung ada proses pembiaran yang dilakukan pemerintah daerah karena masalah politik.

         Di daerah tertentu hubungan antara pemerintah daerah, kepolisian dan TNI dalam menangani konflik juga cenderung tidak harmonis karena tidak ada suatu sistem penanganan konflik yang integral dan terpadu.

         "Masalah-masalah politik juga sering menjadi akselerator terjadinya konflik di wilayah NTB," ujar Natsir. (*)