Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK-RI) memberikan perlindungan bagi 440 korban kekerasan seksual, dalam kurun waktu 2014 hingga Mei 2020, belum termasuk perlindungan bagi pelapor, saksi, keluarga korban maupun saksi pada kasus yang sama, sehingga total terlindung LPSK sebanyak 901 orang.
Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar menuturkan, data LPSK belum menggambarkan angka keseluruhan korban kekerasan seksual di Indonesia, lantaran masih banyak korban kekerasan seksual yang tidak meminta perlindungan ke LPSK, atau bahkan tidak melaporkan kejadian yang menimpa mereka kepada pihak kepolisian.
"Data LPSK hanya menjelaskan jumlah korban kekerasan seksual yang mengajukan permohonan perlindungan. Di luar itu, diyakini masih banyak kasus lain, di mana jumlah korbannya dirasa lebih besar," ujar Livia dalam konferensi pers daring bersama LPSK dan Komnas Perempuan memperingati tragedi Mei 98, di Jakarta, Rabu.
Terkait penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia, Livia mengakui banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya ketika pelaku kekerasan seksual merupakan oknum pejabat publik.
Berdasarkan pengalaman LPSK, manakala pelaku kekerasan seksual merupakan oknum pejabat publik, proses hukum menjadi sesuatu yang sangat sulit diharapkan.
Jika pun proses hukum yang dinanti itu terjadi, prosesnya akan berjalan dengan sangat lamban. Bahkan, kata dia, tak jarang saat putusan pengadilan, hukuman yang dijatuhkan ringan dan kurang maksimal.
Menurut Livia, kondisi seperti itu dipengaruhi beberapa hal, antara lain pelaku yang merupakan oknum pejabat publik yang mempunyai “kekuatan" dan "kekuasaan” untuk memberikan tekanan kepada para korban dan "memaksa" korban untuk berdamai.
"Berbagai cara digunakan pelaku, mulai intimidasi fisik maupun bujuk rayu dengan pemberian materi," ujar dia.
Faktor lain yang mempersulit proses hukum oknum pejabat publik yang menjadi pelaku kekerasan seksual, yaitu adanya aturan tentang izin pemeriksaan terhadap yang bersangkutan dalam proses hukum.
Livia mengatakan kondisi tersebut seringkali memperlambat, bahkan tak jarang menghambat proses hukum untuk memberikan keadilan bagi para korban.
"Tak hanya oknum pejabat publik, pada sejumlah kasus kekerasan seksual dengan pelaku seorang tokoh di masyarakat, terkadang juga sulit disentuh hukum," ujar Livia.
Dalam konteks perlindungan korban kekerasan seksual, Livia menambahkan, korban memiliki hak yang sudah diatur secara tegas dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban, dengan pelaksanaannya dilakukan oleh LPSK.
Hanya saja, kata dia, pemahaman akan hak-hak korban tersebut belum merata di kalangan aparat penegak hukum.
Layanan hak yang dimaksud seperti perlindungan fisik berupa rumah aman, pengamanan melekat di kediaman, pengawalan dalam setiap proses hukum termasuk persidangan, pergantian identitas, relokasi, dan hak memberikan kesaksian melalui konferensi video.
Selain perlindungan fisik, diatur pula perlindungan dalam bentuk pemenuhan hak prosedural, berupa memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus dan dalam hal terpidana bebas, penggantian biaya transportasi dan bantuan hidup sementara, pendampingan, mendapatkan kediaman sementara atau baru, serta mendapatkan penerjemah.
"Korban juga berhak atas bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial, serta LPSK akan berkoordinasi dengan lembaga lain, restitusi maupun kompensasi," katanya pula.
Livia menambahkan, dari sejumlah tantangan pada penanganan kasus kekerasan seksual tersebut, LPSK merasa perlu adanya kesamaan cara pandang antaraparat penegak hukum bahwa kekerasan seksual sebagai kasus serius dan pelakunya harus diberikan hukuman untuk menimbulkan efek jera.
Selain itu, LPSK juga berharap adanya kerja sama sosialisasi bersama aparat penegak hukum dalam upaya pemenuhan hak saksi dan korban.
"Yang juga menjadi perhatian adalah bagaimana membangun kerja sama dengan pemerintah provinsi dan daerah untuk membuat rencana anggaran yang dapat memberikan pemulihan medis, psikologis, maupun psikososial bagi korban," kata dia.
Pada kesempatan tersebut, Livia juga menyinggung tragedi Mei 98 yang telah ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM. Hingga saat ini, kata dia, LPSK belum pernah menerima permohonan perlindungan dari para korban.
Livia mengingatkan bahwa korban sebenarnya berhak mengakses hak-haknya untuk mendapatkan pemulihan, seperti diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Berita Terkait
Polda NTB berkoordinasi dengan LPSK terkait kasus pelecehan di ponpes
Selasa, 23 Mei 2023 18:06
Puluhan Warga Mataram Lakukan Aksi Gunduli Kepala
Jumat, 21 Agustus 2015 15:53
Haji- 60 Persen Calon Haji Mataram Risiko Tinggi
Rabu, 19 Agustus 2015 21:37
Bupati Sumbawa Barat Evaluasi Jelang Akhir Jabatan
Selasa, 11 Agustus 2015 7:40
Legislator Kecewa Anggaran Sosial Minim Dialokasikan Pemprov NTB
Rabu, 5 Agustus 2015 23:18
Anggaran pengamanan pilkada sumbawa barat rp1,5 miliar
Jumat, 31 Juli 2015 15:01
Paket "K2" Pertama Mendaftar Ke KPU KSB
Senin, 27 Juli 2015 11:14
Paket "f1" didukung partai terbanyak dalam pilkada
Minggu, 5 Juli 2015 14:21