Polda NTB menangani kasus ITE dengan pedoman SE Kapolri

id polda ntb,restorative justice,penanganan ite,keadilan restoratif,se kapolri

Polda NTB menangani kasus ITE dengan pedoman SE Kapolri

Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Artanto. (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat kini mulai menangani kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan berpedoman pada Surat Edaran Kapolri.

"Pada dasarnya kita melaksanakan apa yang disampaikan Kapolri. Itu menjadi dasar kita di lapangan," kata Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Artanto di Mataram, Rabu.

Surat edaran tersebut, jelasnya, sudah sesuai dengan arahan Presiden RI Joko Widodo yang sebelumnya disampaikan dalam Rapim TNI-Polri 2021 secara virtual.

Presiden Joko Widodo meminta kepada Polri agar mengedepankan keadilan restoratif dalam menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan ITE.

Selain itu, kata Artanto, jajaran reserse kriminal juga sudah diminta agar lebih mempertimbangkan upaya ultimum remidium, yakni penegakan hukum sebagai langkah terakhir.

"Tentu penyidik juga harus memahami apa yang menjadi perintah Kapolri. Diminta agar mengimplementasikannya saat menangani laporan pengaduan," ujarnya.

Begitu juga dalam menangani kasus ITE, pihaknya diingatkan kembali agar mengedepankan edukasi dan langkah persuasif. Dugaan kriminalisasi dapat dihindari terhadap terlapor sehingga menjamin penegakan hukum yang berkeadilan.

Ringkasan poin yang termaktub dalam SE itu antara lain, anggota Polri mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui "virtual police" dan "virtual alert" yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.

Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.

"Sejak penerimaan laporan, penyidik diminta berkomunikasi dengan para pihak terutama korban dan memfasilitasi dan memediasi para pihak yang bersengketa," ucap dia.

Selanjutnya, penyidik melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani. Baiknya lagi apabila melibatkan Bareskrim, agar keputusan yang dibuat bisa secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.

Kemudian terhadap para pihak dan atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan "restorative justice".

"Kecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), radikalisme, dan separatisme," katanya.

Dalam hal korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, maka Artanto ingatkan agar tidak melakukan penahanan terhadap tersangka.

"Sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali," ujar dia.

Selanjutnya, penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaannya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.

"Dalam setiap penanganan kasus, agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan," kata Artanto.