Pemprov NTB didesak tuntaskan pemutusan kontrak Gili Trawangan Indah

id PT GTI,NTB,Gili Trawangan,Pemprov NTB,kontrak gti

Pemprov NTB didesak tuntaskan pemutusan kontrak Gili Trawangan Indah

Sepasang wisatawan memperhatikan siluet Gunung Rinjani saat matahari terbit di pinggiran pantai Gili Trawangan, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Jumat (24/2/2017). Gili Trawangan adalah satu dari tiga pulau kawasan wisata Gili Matra (Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan) yang ramai dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara sepanjang tahun. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/ama/aa. (ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI)

Mataram (ANTARA) - Komisi III Bidang Keuangan dan Perbankan DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB segera memutuskan kontrak PT Gili Trawangan Indah (GTI) di Kabupaten Lombok Utara.

Ketua Komisi III DPRD NTB Sambirang Ahmadi mengatakan, pihaknya mendesak Pemprov NTB melalui Biro Hukum agar segera menuangkan kebijakan pemutusan kontrak PT GTI dalam bentuk surat keputusan Gubernur NTB.

"Kami minta Sekda untuk segera menuangkan kebijakan pemutusan kontrak produksi dengan PT GTI dalam bentuk SK Gubernur," ujarnya pada rapat bersama organisasi perangkat daerah (OPD) Pemprov NTB, di Mataram, Jumat.

Menurut politisi PKS tersebut, hal itu penting untuk dijadikan perhatian dalam rangka mengantisipasi segala sesuatunya yang berkaitan dengan pemutusan kontrak PT GTI.

"Langkah-langkah antisipatif ini diperlukan bila mana ada kemungkinan gugatan balik dari PT GTI terhadap keputusan gubernur," katanya pula.

Selain persoalan GTI, kata Sambirang, pihaknya juga mendorong Pemprov NTB melalui UPTB pemanfaatan aset daerah dan Tim Penasehat Investasi Daerah untuk membuat skema penertiban, penyelamatan, dan pemanfaatan aset daerah demi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Terutama terhadap aset-aset yang sudah di pihak ketiga, sehingga bisa direcovery dan direvaluasi atau ditinjau ulang nilai atau harganya sesuai kondisi terkini baik secara regulatif maupun prospek ekonominya.

Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB melalui jaksa pengacara negara (JPN) merekomendasikan perubahan kontrak produksi kerja sama pengelolaan aset oleh PT GTI terkait pemanfaatan lahan seluas 65 hektare di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.

"Kontrak produksinya harus diadendum, harus diubah. Mitra (PT GTI, Red) harus tunduk dengan penyesuaian apa pun risikonya, suka tidak suka dia harus tunduk, karena kalau tidak akan berpotensi merugikan negara. Ini juga jadi perhatian teman-teman di KPK," kata Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan.

Rekomendasi kontrak produksi tersebut, kata dia, harus diubah meskipun tidak ada klausul perjanjiannya yang bertentangan secara hukum.

Hal itu dilihat JPN dari dasar perjanjian kontraknya yang dibuat pada 12 April 1995 tersebut, masih menggunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3/1986.

Sementara, ujarnya lagi, aturan itu sudah dicabut pada tahun 2001 dan diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27/2014 yang diubah lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28/2020.

Terkait hal itu, Pemprov NTB dikatakan selama ini tidak melakukan langkah konkret untuk menertibkan aset yang kini diduduki oleh sejumlah pengusaha di bidang jasa pariwisata itu.

"Jadi seharusnya setiap lima tahun dilakukan evaluasi. Apabila tahun 2001 dasar hukum kontrak produksi itu dicabut (Permendagri Nomor 3/1986), maka dia harus melakukan penyesuaian," ujarnya.

Untuk perubahan kontrak produksi dengan PT GTI, pedoman pelaksanaannya telah tertuang dalam Permendagri Nomor 19/2016. Dalam aturannya ada penjelasan terkait skema pemanfaatan aset daerah.

"Bentuknya ada lima, antara lain sewa, pinjam pakai, bangun serah guna, kerja sama pemanfaatan, dan kerja sama penyediaan infrastruktur," ujar dia pula.

Hasil kajian JPN, lanjutnya, kejaksaan sudah punya dua pilihan yang akan menjadi bahan penawaran kepada Pemerintah maupun PT GTI, yakni sewa atau kerja sama pemanfaatan.

"Ini yang sedang kami godok dengan Kemendagri, mana yang paling tepat. Yang paling relevan yang pemanfaatan aset," katanya.


Namun dari hal tersebut, ada konsekuensi hukumnya. Hal itu berkaitan dengan penyesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah Gili Trawangan. Sebab, kerja sama pemanfaatan aset ini dapat berupa pembangunan apartemen, mal, sampai hotel bertingkat.

"Masalahnya, di sana boleh nggak membangun seperti itu," ujar Dedi.

Selain itu, juga dampak sosialnya. Tim JPN menemukan ada sebanyak 89 pengusaha yang bergerak di bidang jasa pariwisata mulai dari hotel, restoran, dan tempat hiburan telah menduduki lahan konsesi PT GTI tersebut.

"Mereka di sana tanpa izin usaha, tanpa IMB. Sederhananya, usaha mereka ilegal. Tapi, mereka pada dasarnya akan ikut pemerintah sepanjang dilakukan secara adil, karena mereka sadar mereka tidak punya hak di sana," ujarnya pula.

Namun konsekuensi ekonomisnya, perubahan kontrak produksi ini akan meningkatkan pendapatan Pemprov NTB selaku pemilik Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang memberikan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada PT GTI.