Kasus jual beli tanah bernilai miliaran di Lombok berujung damai

id kasus tipu gelap,jual beli tanah,polda ntb,restorative justice

Kasus jual beli tanah bernilai miliaran di Lombok berujung damai

Dirreskrimum Polda NTB Kombes Pol Hari Brata. (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Penanganan kasus dugaan penipuan dan penggelapan dalam proses jual beli tanah bernilai miliaran di Desa Lekor, Kabupaten Lombok Tengah, oleh Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat, kini berujung damai.

Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Kombes Pol Hari Brata di Mataram, Selasa, mengatakan pihak kepolisian akan menindaklanjuti persetujuan damai antara pihak yang bersengketa dalam kasus jual beli tanah seluas 2,06 hektare itu melalui proses keadilan restoratif (restorative justice).

"Karena sudah ada pernyataan perdamaian antara pelapor dan terlapor, penanganan kasusnya akan diselesaikan melalui proses restorative justice," kata Hari Brata.



Dia mengatakan bahwa kasus ini berawal dari adanya laporan pihak pembeli tanah berinisial AH asal Jakarta. Sebagai korban, AH melaporkan dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan terhadap empat orang yang diduga melakukan pemufakatan jahat dalam proses pembelian tanah tersebut.

Mereka adalah penjual tanah berinisial AS dan SR, penjamin gadai berinisial HA yang bukan lain kakak kandung dari AS, dan seorang notaris di Praya, Kabupaten Lombok Tengah berinisial CW.

Penyidik pun sempat menetapkan empat orang tersebut sebagai tersangka yang diduga berafiliasi karena menjual tanah yang masih dalam status gadai. Dalam prosesnya, korban sudah membayar uang muka 50 persen dari harga jual tanah.

Dengan konstruksi penyidikan yang telah digelar, mereka berempat menjadi tersangka yang diduga melanggar Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan 378 KUHP tentang Penipuan.



Namun untuk kasus pada bidang tanah lainnya dengan peran yang sama, baik dari pihak korban maupun pelaku, Hari Brata mengatakan bahwa kasusnya masih berjalan.

"Kasus yang nilainya Rp12 miliar itu tetap lanjut. Memang pelaku dan korbannya sama, tetapi lokasi tanahnya yang berbeda," ujar Hari Brata.

Bahkan, katanya, kasusnya berpeluang untuk dikembangkan ke arah tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Tidak perlu tunggu status pidana pokoknya inkrah. Mungkin nanti bisa saja dalam perjalanannya, kita terbitkan sprintug (surat perintah tugas)," ucapnya.

Terkait dengan lokasi tanah yang menjadi bahan sengketa baru tersebut, Hari Brata mengaku belum mendapat informasi lengkap dari anggota.