NTB UTAMAKAN PENDEKATAN PERSUASIF SELESAIKAN KONFLIK KOMUNAL

id

     Mataram, 30/4 (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan para pemangku kepentingan lainnya terus berupaya mengutamakan pendekatan persuasif dalam menyelesaikan berbagai konflik komunal.
     "Diutamakan sejumlah pendekatan persuasif untuk menyelesaikan berbagai konflik di daerah ini," kata Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri (Kesbangpoldagri) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) H. Ridwan Hidayat, pada Seminar Meredam Konflik Sosial di NTB, yang diselenggarakan Nusatenggara Center (NC) di Mataram, Sabtu.
     Ia mengatakan, pendekatan persuasif yang digunakan untuk menyelesaikan berbagai konflik komunal yakni pendekatan kesejahteraan, kultural, generasi dan pendekatan keamanan.
     Terkait pendekatan kesejahteraan, Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi telah memerintahkan kepada seluruh pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk segera mempercepat pemberian modal, peralatan, pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran untuk meningkatkan kualitas masyarakat NTB.
      Sementara pendekatan kultural melalui pelibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat, sekaligus menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal.
      Sedangkan pendekatan generasi melalui forum-forum komunikasi pondok pesantren, dimana anak-anak korban konflik dapat disekolahkan di pondok pesantren sehingga bisa menghilangkan trauma dan menghilangkan dendam dari anak-anak tersebut.
     "Kalau pendekatan keamanan mengarah kepada upaya agar konflik berakhir jika masyarakat dan pemerintah bersatu," ujarnya.
     Ridwan mengatakan, harus diakui bahwa NTB merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan tingkat potensi konflik yang cukup tinggi.
     Berbagai konflik sosial yang terjadi pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang sangat pluralis dengan keanekaragaman budaya, agama, suku serta kondisi geografis.
     Selain itu, aksesibilitas infrastruktur yang belum sepenuhnya memadai, sehingga memicu potensi konflik yang harus diantisipasi dengan sungguh-sungguh.
     "Dari beberapa kasus yang terjadi, terutama konflik antar warga, faktor ekonomi merupakan faktor yang dominan, disamping faktor sosial kemasyarakatan yang lainnya," ujarnya.
     Karena itu, kata Ridwan, Seminar Meredam Konflik Sosial di NTB itu diharapkan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai salah satu forum penyatuan persepsi dan langkah kedepan menuju terwujudnya pembinaan masyarakat yang lebih fokus dan mampu bergerak dinamis mengikuti perkembangan masyarakat tanpa meninggalkan nilai luhur dan tuntutan agama.
     Dia menawarkan beberapa kebijakan penanganan konflik di NTB, yakni pemetaan potensi konflik dan kerawanan yang mungkin terjadi, sehingga lebih mudah untuk melakukan penanganan dan penyelesaiannya.
     Kebijakan lainnya yakni mengidentifikasi dan menemukan akar penyebab yang memicu terjadinya konflik, melakukan pendekatan budaya dan pola pikir masyarakat ke arah pemikiran yang lebih bijak dan positif, antara lain dengan memanfaatkan peran dan keteladanan dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, serta tokoh-tokoh panutan lainnya di daerah setempat.
     Selain itu, diperlukan peningkatan intensitas koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota, serta optimalisasi peran FKUB dan organisasi kemasyarakatan lainnya, terutama pada daerah-daerah yang selama ini rentan konflik.
     Sementara itu, Kompol Ruslan Abdul Gani dari Polda NTB mengatakan, pada periode 2010 konflik komunal yang terjadi di NTB tercatat sebanyak 42 kasus, seperti perkelahian kelompok, pengerusakan, pembakaran kantor dan fasilitas umum, penyegelan bangunan, pemblokiran jalan sampai dengan mobilisasi massa untuk memaksakan suatu kehendak kelompok.
     "Realitas itu menimbulkan kesan dan stigma bahwa NTB sebagai salah satu wilayah yang rawan konflik belum hilang sepenuhnya. Stigma itu dapat menjadi kendala psikologis bagi pendatang dari luar, termasuk bagi investor dan wisatawan yang ingin berinvestasi atau menetapkan tujuan wisatanya ke NTB," ujarnya.
     Menurut Ruslan, konflik sosial harus diselesaikan melalui kajian ilmu sosial dengan melibatkan lembaga-lembaga pemerintah, adat dan kelompok masyarakat untuk mencari solusinya. T
     Tindakan warga yang bertentangan dengan hukum, ditangani dengan cara hukum, dimana warga diperlakukan sebagai individu, bukan kelompok.
      "Kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah, kepolisian maupun pihak-pihak lainnya namun upaya tersebut lebih terfokus pada penanganan pasca konflik, sehingga masalah yang ada tidak terselesaikan dengan baik," ujarnya.
      Dia menyebut upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian, antara lain melibatkan tokoh masyarakat, bekerjasama dengan lembaga adat, aparat terkait di tingkat desa atau kelurahan dan keluarga pihak-pihak yg bersengketa.
      Namun, polri merekomendasikan perlu adanya pendekatan relaksasi sosial dalam interaksi dengan masyarakat, yang harus didukung oleh pemerintah daerah yang ikut menciptakan situasi kondusif.
      Juga diperlukan pendidikan watak (akhlak), pendidikan nilai (transisi nilai baru pada generasi muda), perlunya pendidikan tentang perbedaan (diversity) sejak dini, pembangunan fasilitas sosial dan ekonomi yg memadai, pemberdayaan ekonomi yang dapat memperbaiki infrastruktur publik, meningkatkan mobilitas masyarakat, meningkatkan produktifitas dan nilai tambah petani atau nelayan dengan menghadirkan industri yang arif terhadap nilai lokal.
      "Juga perlu ada penganggaran untuk mendukung terjadinya transformasi resolusi konflik berupa pemanfaatan potensi yang ada di masyarakat, pemerintah daerah, DPRD dan 'stakeholders' lainnya," ujarnya. (Devi*)