NEGARA HUTAN TROPIS AKUI KESULITAN HIMPUN DANA INTERNASIONAL

id

     Mataram, 10/6 (ANTARA) - Utusan dari negara-negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia, mengakui kesulitan menghimpun dana internasional untuk peningkatan konservasi kawasan hutan sehubungan dengan adanya pemanasan global dan perubahan iklim.

     Kesulitan pendanaan internasional itu mengemuka dalam "workshop" peranan"Social Forestry" atau kehutanan sosial dalam mitigasi, adaptasi pemanasan global dan perubahan iklim, yang digelar di kawasan wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 6-10 Juni 2011.      

     Workshop itu merupakan wadah diskusi kelompok Forest Eleven (F11) yang melibatkan negara-negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia.

     Di awal terbentuknya F11 tiga tahun lalu, tergabung 11 negara yakni Indonesia, Republik Demokratik Kongo, Papua New Guninea (PNG), Brazil, Malaysia, Philipina, Kolombia, Kamerun, Peru, Gabon, dan Kosta Rika.

     Kelompok F11 kemudian mengajak negara lainnya dan tiga negara yang baru bergabung sejak tahun lalu yakni Guatemala, Guyana dan Suriname.

     Peserta "workshop" banyak mendiskusikan peluang-peluang pendanaan program "Social Forestry" yang akan diimplementasikan melalui mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang atau Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Developing Countries (REDD) plus.

     Mekanisme REDD dianggap kurang sempurna karena deforestasi dan degradasi hutan memang mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tetapi tidak meningkatkan kemampuan hutan itu sendiri untuk melakukan sekuestrasi atau penyerapan karbon.

     Oleh karena itu muncullah mekanisme REDD-plus yang bukan hanya memberikan insentif untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga peningkatan penyerapan karbon melalu konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan-cadangan karbon hutan di negara-negara berkembang.

     Pendanaan untuk kegiatan Aforestasi dan Reforestasi (A/R) sendiri telah lama dikenal melalu mekanisme Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM).

     Namun, ditemukan berbagai kendala pendanaan A/R-CDM karena persyaratan terlalu ketat, biaya transaksi terlalu tinggi, dan prosedurnya rumit.

     Tingginya biaya transaksi untuk mengakses panggilan pendanaan internasional untuk negara-negara F11 itu maka diharuskan untuk mencari sumber-sumber pendanaan alternatif.

      Fasilitator "workshop" Satyawan Sunito dari Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan, masalah pendanaan program "Social Forestry" itu menjadi isu hangat yang didiskusikan kelompok F11 dalam empat hari ini.

     "Utusan dari berbagai negara F11 mengakui sulitnya menghimpun dana internasional untuk dikucurkan kepada masyatakat lokal di sekitar kawasan hutan kemasyarakatan," ujarnya.

     Instrumen yang tepat agar dana internasional itu bisa mencapai titik terendah yakni kelompok masyarakat pengelola hutan kemasyarakatan, menjadi topik menarik yang diperbincangkan utusan negara F11.

     Sementara transparansi dalam pelaksanaan program kehutanan sosial itu menjadi indikator utama keberhasilan program tersebut.

     "Itu yang kemudian ramai diperbincangkan dan memang diakui pendanaannya rumit. Banyak pihak yang agak pesimis, bagaimana menyambungkan pusat keuangan dengan masyarakat penggunannya. Belum lagi prosesnya sangat jelimat karena masyarakat desa dengan manajemen keuangan dan pengetahuan minim," ujarnya.

     Pada akhirnya, kata Sunito, peserta "workshop" lebih memilih mengoptimalkan pola yang sudah ada namun dibenahi lagi agar lebih mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang menjadi sasaran program kehutanan sosial itu.

     Sementara itu, Kepala Pusat Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kehutanan DR. Agus Sarsito, mengatakan, masalah pendanaan program kehutanan sosial tidak harus bergantung pada dukungan internasional, karena belakangan ini negara-negara maju juga dilanda beragam persoalan.

     "Memang diakui dalam berbagai negosiasi sulit dipegang komitmen negara-negara maju yang seharusnya mereka bertanggungjawab terhadap emisi yang mereka keluarkan akibat proses pembangunan," ujarnya.

     Menurut dia, negara-negara maju yang semestinya memberi bantuan kepada negara-negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim dan adaptasi mitigasi, ternyata mengingkarinya.

     Apalagi, negara-negara maju itu sedang berada pada titik jenuh, ketika perkembangan ekonomi dunia hendak bergeser ke negara berkembang, seperti China, Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan.

     "Jadi akan sulit nanti dalam 10 tahun yang akan datang mana yang negara berkembang, mana yang negara maju, mungkin saja Amerika dan Eropa yang sudah maju akan terlewati oleh China," ujarnya.

     Dengan demikian, kata Agus, akan semakin sulit mengharapkan keikhlasan negara maju untuk memberikan bantuan kepada negara berkembang terkait program kehutanan sosial itu.

     "Kita (Indonesia) sebagai negara berkembang harus punya komitmen untuk mengembangkan diri sendiri. Bersama dengan negara berkembang lainnya yang tergabung dalam F11, kita kembangkan potensi yang ada, dan jangan hangan bergantung pada dunia internasional," ujarnya. (*)