Lombok TV minta pemerintah patuhi keputusan MA terkait PP 46/2021

id penyiaran lokal,izin penyiaran,lombok tv,keputusan ma,pp 46/2021

Lombok TV minta pemerintah patuhi keputusan MA terkait PP 46/2021

Foto dok. Karyawan PT Lombok Nuansa Televisi mempersiapkan alat produksi penyiaran lapangan di Lombok, NTB. (ANTARA/Facebook-Lombok TV)

Mataram (ANTARA) - Perseroan Terbatas Lombok Nuansa Televisi (Lombok TV) meminta pemerintah untuk mematuhi keputusan Mahkamah Agung terkait pembatalan Pasal 81 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran.

"Kami berharap Kementerian Komunikasi dan Informatika mematuhi putusan Mahkamah Agung dan tidak membuat hal-hal yang bersifat inkonstitutional seperti menerbitkan PP baru yang materi muatannya sama," kata Kuasa hukum PT Lombok Nuansa Televisi Gede Aditya Pratama melalui siaran pers yang diterima di Mataram, Sabtu.

Dia juga meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika menghentikan proses analog switch off di seluruh Indonesia terhadap lembaga penyiaran yang telah memiliki Ijin Penyelenggaraan Penyiaran.

Permintaan itu dipertegas Gede berdasarkan amanah Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran Juncto Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Ia meminta demikian sampai diterbitkan peraturan baru terkait multipleksing dalam bentuk perundang-undangan.

"Kami berharap pengaturan penyelenggaraan multipleksing, jika diaturkan dalam undang-undang dapat memperhatikan dan tidak diskriminatif terhadap penyelenggara penyiaran televisi lokal," ujarnya.

Sementara, Yogi Hadi Ismanto, Direktur Lombok TV mengatakan, sebagai televisi lokal, pihaknya sudah memiliki infrastruktur pertelevisian lengkap.

"Izin penyelenggaraan penyiaran dan alat-alat dibeli dengan harga mahal. Untuk biaya pemancar saja mencapai Rp500 juta. Setelah lima tahun mendapat izin, kami belum balik modal. Tetapi, tiba-tiba harus numpang ke orang," ujar Yogi.

Untuk menyewa slot multipleksing TVRI di Lombok saja, kata dia, pihaknya harus mengeluarkan modal Rp15 juta per bulan. Sementara, MetroTV Rp30 juta.

"Tiba-tiba slot ini sudah penuh dan tidak ada jaminan harganya stabil di harga tersebut. Tahun depan, bisa saja harganya naik jadi Rp100 juta per bulan," kata dia.

Ia pun merasa kebingungan apakah barang-barang yang sudah dimiliki perusahaannya harus dibuang percuma.

"Pelaksanaan ASO (analog switch off) akan inkonstitusional kalau dipaksakan. Toh', pemerintah sendiri belum siap. Proses analog switch off harus dihentikan," ucapnya.

Lombok TV sejauh ini, lanjut dia, sudah memiliki siaran analog maupun digital. Hanya saja, dengan proses ASO, untuk siaran digital harus melepas izin televisi analog yang sudah mendapat izin untuk 10 tahun.

Dia menjelaskan bahwa salah satu infrastruktur penting dalam proses migrasi ke TV digital adalah perangkat multipleksing (MUX). Namun hal itu tidak memiliki cantolan baik dalam UU Penyiaran maupun UU Cipta Kerja.

Dengan pemaparan demikian, Yogi mengingatkan kembali, permohonan uji materiil kini telah dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

"Kami berharap, ke depannya penyelenggaraan multipleksing dan TV digital apabila sudah diatur melalui undang-undang, dapat memperhatikan dan tidak diskriminatif terhadap penyelenggara penyiaran televisi lokal," kata Yogi.