"ORANGUTAN" DATANGI MAHKAMAH AGUNG

id

     Jakarta (ANTARA) - Sejumlah aktivis Centre for Orangutan Protection (COP) menggelar aksi di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, mendesak penegakan hukum terhadap kasus pembantaian satwa liar bisa menyentuh level manajemen.

     Mereka memakai kostum orangutan dan memakai topeng beragam satwa liar yang dilindungi seperti orangutan, harimau, gajah, bekantang, kunkang, dan lainnya.

     "Kami datang ke rumah hukum Indonesia karena hakim memiliki peranan kunci dalam hal penegakan hukum satwa liar di Indonesia. Saat ini kasus pembantaian orangutan Indonesia di Kalimantan Timur hanya para pekerja lapangan saja," kata Juru kampanye Orangutan COP, Daniek Hendarto saat aksi berlangsung, Selasa.

     COP menuntut agar penegakan hukum juga menyeret level manajemen yang memerintahkan pembantaian. Mereka khawatir penegakan hukum tidak ada dampaknya jika yang diadili hanya eksekutor lapangan.

     "Karena kita tahu bahwa pekerja lapangan mendapat instruksi dari tim manajemen, mereka yang memerintahkan tindak kejahatan itu," tambah Daniek.

     Saat ini digelar tiga persidangan kasus pembantaian orangutan di Kalimantan Timur, yakni di Pengadilan Negeri Sangatta di Kutai Timur dan Tenggarong di Kutai Kartanegara. Total terdapat delapan terdakwa, empat orang dari PT. Khaleda Agroprima Malindo (Metro Kajang Holdings Berhad), dua orang dari PT. Sabhantara Rawi Sentosa (Makin Group) dan dua orang dari PT. Prima Cipta Selaras.

     Dalam kasus yang melibatkan MKH Berhard, yang diadili adalah dua orang dari level manajemen dan dua orang pekerja lapangan. Sedangkan kasus yang melibatkan Makin Group dan PT. Prima Cipta Selaras, seluruhnya yang sedang diadili adalah pekerja lapangan.

     Kasus sebelumnya pada awal Februari mengenai perdagangan Orangutan di Sumatera, menjadi kasus yang bersejarah karena dalam kasus tersebut baru diberlakukan vonis sejak keluarnya Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Meskipun tuntutan terhadap terdakwa masih terlalu ringan, yakni hanya delapan bulan penjara.

     "Kita berharap para pelaku kejahatan satwa liar ini mendapatkan hukuman yang berat. Kita berharap ada aplikasi yang sesungguhnya tentang peraturan UU nomor 5 tahun 1990, yakni lima tahun penjara dan denda 100 juta, jika diterapkan tentunya ini akan menjadi efek jera bagi semua pihak," kata Daniek.

(*)