NTB URUTAN 11 SOAL KONFLIK AGRARIA

id

     Mataram (ANTARA) - Provinsi Nusa Tenggara Barat menempati urutan ke-11 soal konflik agraria setelah Bali pada posisi ke-10,  diduga ada korelasinya dengan perkembangan pembangunan yang berdampak terhadap tingginya nilai ekonomis tanah.

     Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) NTB Agus Widjayanto di Mataram, Kamis mengatakan, DKI Jakarta menempati urutan pertama konflik agraria, disusul Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

     "Salah satu peyebab cukup tingginya konflik agraria di NTB, antara lain karena telah dibangunnya Bandara Internasional Lombok yang berdampak terhadap kian melonjaknya harga tanah. Kemajuan industri pariwisata di daerah ini juga memberikan andil tingginya angka konflik agraria," katanya.

     Ia mengatakan, konflik agraria tidak selalu menyangkut kepemilikan atas tanah yang bersifat perdata, tetapi juga terkait dengan sengketa tata usaha negara, yakni terkait pembuktian benar atau tidaknya proses pembuatan sertifikat.

     Menurut dia, khsusus di Pulau Lombok konflik agraria banyak yang terkait dengan kelompok masyarakat, seperti pada kasus hak ulayat, sebagai contoh kasus tanah Mekaki di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.

     "Sengketa ini relatif sulit diselesaikan, karena sebagian masyarakat tidak mau menerima putusan, karena itu ini harus dilakukan pendekatan kesejahteraan. Sebab kalau masyarakat sejahtera mereka akan menerima putusan pegadilan," ujarnya.

     Karena itu, katanya, pemerintah melaksanakan program reforma agraria, yakni dengan membantu masyarakat mensertifikatkan tanahnya tanpa biaya yang nantinya bisa digunakan sebagai agunan kredit di bank.

     Agus mengatakan, beberapa tahun lalu tanah di Mekaki merupakan kawasan hutan, namun karena masyarakat membutuhkan tanah, sehingga saat itu Menteri Kehutanan memberikan izin untuk mengelola lahan tersebut, namn kini diklaim sebagai hak ulayat.

     Selain di bidang pariwisata, konflik agraria juga kerap terjadi akibat sektor pertambangan, seperti yang terjadi di Kabupaten Bima. (*)