12 WANITA DIBAWAH UMUR DIPEKERJAKAN DI LOMBOK

id

     Mataram, 17/7 (ANTARA) - Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPP-KB) mencatat, sejak Januari hingga Juni 2012 sedikitnya 12 orang wanita dibawah umur didatangkan dari luar wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk dipekerjakan di Pulau Lombok.
     "Dari 12 orang wanita dibawah umur yang masih dikategorikan anak-anak itu, lima orang diantaranya berasal dari Jawa Barat, dua orang dari Bima (Pulau Sumbawa) dan lima orang dari Jawa Timur," kata Kepala BPP-KB Provinsi NTB Siti Ratnawati, di Mataram, Selasa.
     Ratnawati mengaku telah mengungkapkan hal itu dalam pertemuan dialog dengan Komisi VIII DPR, di Kantor Gubernur NTB, di Mataram, Senin (16/7).
     Dialog itu merupakan bagian dari rangkaian kunjungan kerja 10 orang anggota Komisi VIII DPR di NTB dalam masa reses, yang dipimpin oleh DR H Ali Maschan Moesa, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).   
     Pertemuan dialog itu dipandu Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi, dan dihadiri para pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.
     Komisi VIII DPR membidangi Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Indonesia, serta Kementerian Sosial, termasuk penanggulangan bencana.
     Ratnawati yang pernah menjabat Kepala Perpustakaan dan Arsip Daerah NTB itu mengatakan, NTB tidak hanya menjadi daerah asal korban perdagangan orang (trafficking), tetapi juga telah menjadi daerah tujuan.
     "Anak wanita dibawah umur itu ada yang dipekerjakan sebagai PSK terselubung, dan ada yang dijadikan wanita penghibur di tempat hiburan malam, dan ditengarai akan semakin banyak jika tidak dilakukan pencegahan dan penindakan," ujarnya.
     Sebelumnya, masyarakat NTB yang tergabung dalam berbagai lembaga advokasi, mendatangi gedung DPRD NTB guna mendesak penanganan khusus kasus perdagangan orang yang masih saja marak meskipun telah ada regulasi yang mengaturnya.
     Lembaga advokasi itu yakni Perkumpulan Panca Karsa, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, Solidaritas Perempuan, Koslata, Yayasan Annisa, Aliansi Buruh Migran, Aliansi Kembang Komak, Aliansi BMI, dan lembaga advokasi lainnya.
     Mereka mendesak pihak eksekutif dan legislatif, agar mengalokasikan anggaran khusus untuk korban perdagangan orang (trafficking), baik untuk pengobatan, kesehatan, bantuan hukum maupun reintegrasi ekonomi dalam bentuk program pemberdayaan.
     Desakan lainnya yakni eksekutif dan legislatif harus mengimplementasi berbagai regulasi yang mengatur penanganan kasus "trafficking" dan menyediakan rumah aman khusus bagi para korbannya.
     Regulasi yang dimaksud antara lain, Undang Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking) dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang.
     Bahkan, 10 provinsi di Indonesia termasuk NTB, sebagai anggota Forum Mitra Praja Utama (MPU) telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang Pemberdayaan Perempuan, Anak, dan Tindak Pidana Perdagangan Orang.   
     Sebagai landasan implementasinya telah disusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Pencegahan dan Penanganan Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Provinsi NTB.
     "Selama ini cukup banyak kasus 'trafficking' yang mencuat, namun DPRD NTB belum menyikapinya dalam bentuk intervensi terhadap pihak-pihak yang berkompeten, sehingga terkesan kasus itu terabaikan," kata Koordinator Edukasi Kebijakan Perkumpulan Panca Karsa, Endang Susilowati.
     Perkumpulan Panca Karsa menilai aparat penegak hukum di wilayah NTB belum mengoptimalkan UU Nomor 21 Tahun 2007 dan Perda Nomor 10 Tahun 2008 itu, sehingga DPRD NTB perlu mengambil langkah-langkah tegas untuk menangani maraknya kasus perdagangan orang.
     Lembaga advokasi lainnya juga menyoroti kurang pedulinya para wakil rakyat di DPRD NTB terhadap maraknya kasus perdagangan orang itu. (*)