PENGAMAT: PERUSAHAAN TAMBANG SEBAIKNYA AJUKAN "YUDICIAL REVIEW" SOAL SMELTER

id

      Mataram, 8/5 (Antara) - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram (Unram) Dr Prayitno Basuki mengatakan perusahaan tambang termasuk PT Newmont Nusa Tenggara(NNT) sebaiknya mengajukan "yjudicial review" atas UU No. 40/2009 tentang Mineral dan Batubara yang mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter
    "Saya sarankan semua perusahaan tambang termasuk PTNNT mengajukan 'yudicial review' atas Undang-undang Minerba yang menyangkut kewajiban membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri," katanya di Mataram, Rabu.
     Ia mengatakan, kewajiban membangun smelter sesuai amanat Undang-undang Minerba yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 7 Tahun 2012 pada Januari 2014 itu memberatkan perusahaan tambang termasuk PTNNT.
     Prayitno mengatakan, kewajiban membangun smelter itu cukup memberatkan perusahaan pertambangan. Perusahaan pertambangan sekelas Newmont pun akan berat kalau diwajibkan membangun smelter.
     "Ini bukan hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga sisi lain pembangunan smelter itu harus dipertimbangkan, karena smelter tidak satu atau single produk yang dihasilkan, seperti emas dan tembaga," katanya.
      Namun, katanya, produk sampingannya itu yang harus dipikirkan, karena produk yang dihasilkan itu disatu sisi bisa sangat berharga, seperti "asam sulfat" untuk bahan baku pabrik pupuk, tetapi di sisi lain bahan kimian tersebut sangat berbahaya.
     Hasil sampingan dari pemurnian mineral itu, katanya, sangat berbahaya jika tidak ditampung dalam sebuah penampungan yang memenuhi standar keamanan.
     Karena itu, kata Prayitno, perusahaan tambang tidak cukup hanya membangun smelter, tetapi juga harus membangun pabrik pupuk, sebab jika asal sulfat tidak dimanfaatkan, maka panampungan akan penuh dan kalau ini terjadi, maka smelter harus berhenti beroperasi.
    "Jadi kalau perusahaan tambang memliki semelter sendiri tanpa ada pabrik pupuk, solusinya harus membangun tempat penampungan asal sulfat yang banyak, sebab kalau tempat penampungan terlalu penuh kemudian meledak, maka akan sangat berbahaya," kata Prayitno.
     Karena itu, katanya, kewajiban perusahaan pertambangan membangun smelter itu harus dipertimbangkan, karena selain investasinya mahal juga harus ada industri hilir, seperti pabrik pupuk yang juga investasinya sangat besar.
     Dia mengatakan, untuk membangun smelter, perusahaan tambang juga harus membangun jaringan bisnis. Ini bukan kompetensinya perusahaan tambang.
     Kalau perusahaan tambang harus membangun jaringan bisnis, ini tidak mudah, meski diakui bahwa multiplayer effect dari Smelter sangat besar dampaknya terhadap ekonomi," katanya.
    "Karena itu kewajiban membangun smelter sebagaimana diamanatkan Undang-undang Minerba itu menurut saya banyak kelemahannya. Untuk itu tiak ada jalan lain perusahaan tambang termasuk Newmont harus mengajukan yudicial review atas undang-undang tersebut," Prayitno.
     Menurut dia, sebenarnya perusahaan tambang tidak harus membangun smelter sendiri, karena di dalam negeri sudah ada smelter milik PT Smelting Gresik yang bisa mengolah dan memurnikan mineral yang dihasilkan perusahaan tambang termasuk Newmont.
    "Saya sebagai salah seorang anggota tim sembilan yang ditugaskan Gubernur NTB pernah meninjau ke smelter milik PT Smelting Gresik dalam rangka kemungkinan pengembangan smelter di daerah ini. Saat itu kami mendapat informasi bahwa 15 persen dari produk konsentrat Newmont diolah di smelter Gresik," ujarnya.
     Menurut informasi yang diperoleh, kata Prayitno, investasi yang dibutuhkan untuk membangun smelter kalau menggunakan teknologi Eropa harganya sekitar Rp3 triliun dan teknologi Mitsubishi Jepang sekitar  Rp5 triliun.
     Karena itu, katanya, kenapa tidak dioptimalkan hasil tambang dan memperbiki aturan mainnya agar pemasukan untuk negara dan daerah lebih tinggi.
     "Jadi menurut saya lebih baik perusahaan tambang diharuskan membangun industri ramah lingkungan di kawasan tambang guna meningkatkan pendapatan daerah, ketimbang memaksakan perusahaan tambang membangun smelter dan kalau tidak bisa membangun Smelter masa harus di tutup ," katanya.
     Hasil kajian Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (LAPI ITB) pada 2012 antara lain menyebutkan  Peningkatan nilai tambah komoditas tembaga sudah mencapai 93 persen.
     Jika ditingkatkan tujuh persen melalui kegiatan peleburan dan pemurnian, perusahaan tambang harus merogoh investasi 1,2 miliar dolar AS hingga 2 miliar dolar AS jika lengkap dengan infrastruktur penunjang.
      Kajian ITB juga menyatakan biaya pengolahan smelter baru mencapai 35-37 sen dolar AS per pound tembaga, sedangkan biaya pengolahan smelter yang ada saat ini 16-19 sen AS per pound tembaga.
     Karena itu biaya untuk mengubah konsentrat menjadi katoda tembaga menjadi tidak layak secara ekonomi.
      Kajian ITB itu juga menyebutkan bahwa tenggang waktu membangun smelter relatif mepet, yakni 1 Januari 2014, sehingga aturan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Jika bersikukuh, pemerintah dan perusahaan pertambangan akan sama-sama dirugikan.
       Selain itu pemerintah akan kehilangan devisa sebesar 8,7 miliar dolar AS (Rp83,52 triliun dengan kurs Rp9.600) dari 'revenue' Freeport dan Newmont.
       Konsekuensinya, Freeport dan Newmont tidak berproduksi, ada sekitar 25 ribu pekerja Freeport dan delapan ribu pekerja Newmont dipecat," katanya.
      Seperti diketahui pasal 170 UU No. 40/2009 tentang Minerba menyebutkan, pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU diberlakukan.
      Dengan UU Minerba diundangkan pada 12 Januari 2009, maka paling lambat 12 Januari 2014 atau tinggal sembilan bulan lagi, perusahaan tambang terkena kewajiban tersebut. (*)
 
                                                           Tidak efisien
      Menurut Prayitno, perusahaan tambang membangun "smelter" atau pabrik pengolahan dan pemurnian mineral dinilai tidak efisien karena selain investasinya besar juga operasi penambangan tidak berlangsung seterusnya.
     "Selain tidak efisien, produk ikutan dari smelter terutama asam sulfat juga berbahaya terhadap lingkungan kalau tidak diikuti oleh industri hilir, seperti pabrik pupuk. Asam sulfat sebagai produk ikutan harus diolah menjadi pupuk, sebab jika dibuang sembarangan sangat membahayakan kesehatan," katanya di Mataram, Rabu.
     Ia mencontohkan kalau di kawasan tambang PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dibangun smelter, siapa yang menjamin akan dibangun pabrik pupuk di daerah itu yang investasinya besar dan apakah ada investor yang berminat membangun.
     Dia mengatakan, jika tidak ada pabrik pupuk yang akan memanfaatkan produk ikutan tersebut, tidak mungkin membangun smelter, karena produk sampingan yang sangat membahayakan itu tidak bisa diolah.
      "Belum lagi kalau diperhitungkan masa operasi penambangan, jika masa penambangan berakhir, maka baik smelter maupun pabrik pupuk yang dibangun harus ditutup juga, karena bahan bakunya tidak tersedia lagi," ujarnya.
       Karena itu, kata Prayitno, sebaiknya pembangunan smelter yang sudah ada di Indonesia, yakni di Gresik dimanfaatkan secara maksimal, seperti selama ini konsentrat yang dihasilkan PTNNT, karena kalau perusahaan tambang diwajibkan membangun smelter tidak efisien.
       Menurut dia, kalau seandainya perusahaan tambang beroperasi hanya 16 tahun, kemudian dibangun smelter, maka itu akan sia-sia karena pabrik pengolahan dan pemurnian mineral itu tidak akan dipakai lagi, apalagi diikuti dengan pembangunan pabrik pupuk, akan lebih merugikan lagi.
       "Sebenarnya tidak ada masalah kalau misalnya konsentrat Newmont diangkut ke smelter Gresik dibandingkan dengan Newmont membangun smelter sendiri di Sumbawa atau Sumbawa Barat. Akan lebih berbahaya kalau mengirim asam sulfat ke pabrik pupuk," ujarnya.
        Prayitno mengatakan, tidak mungkin perusahaan tambang yang sudah berproduksi belasan tahun seperti Newmont akan ditutup hanya karena tidak melaksanakan kewajiban membangun smelter sebagaimana diamanatkan Undang-Undang tentang Minerba. (*)