Pemprov NTB kesulitan menilai tanah di tepi jalan

id Pemprov NTB kesulitan menilai tanah di tepi jalan

Pemprov NTB kesulitan menilai tanah di tepi jalan

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kesulitan merampungan penilaian tanah milik pemerintah daerah yang terletak di tepi jalan, karena berhadapan dengan persoalan sosial ekonomi masyarakat. (Ilustrasi aset tanah pemprov di tepi jalan)

"Memang kita sudah coba sejak dua tahun lalu, tapi praktiknya tak mudah. Memang itu tanah pemprov tapi itu kan tidak luas (sempit) dan letaknya di pinggir jalan. Mau mendata ada yang sudah dipakai masyarakat, jadi bagaimana ya," kata Gubernur NTB TGH
Mataram (Antara Mataram) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kesulitan merampungkan penilaian tanah milik pemerintah daerah yang terletak di tepi jalan, karena berhadapan dengan persoalan sosial ekonomi masyarakat.

"Memang kita (Pemprov NTB) sudah coba sejak dua tahun lalu, tapi praktiknya tak mudah. Memang itu tanah pemprov tapi itu kan tidak luas (sempit) dan letaknya di pinggir jalan. Mau mendata ada yang sudah dipakai masyarakat, jadi bagaimana ya," kata Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi, ketika dikonfirmasi terkait penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di Mataram, Kamis.

BPK Perwakilan NTB menilai Pemprov NTB belum menuntaskan nilai tanah yang terletak di tepi jalan umum, sehingga berpengaruh terhadap neraca keuangan pemerintah daerah.

Zainul mengakui, penilaian atas tanah Pemprov NTB di tepi jalan itu mutlak dilakukan sesuai pengajuan BPK.

Namun, karena persoalan sosial-ekonomi masyarakat itu, kemudian Pemprov NTB menetapkan skala prioritas dalam upaya penilaian tanah tersebut.

"Nanti kita ambil skala prioritas, tanah-tanah yang lebih luas itu yang dituntaskan lebih dahulu, tapi kalau tanah sepetak dua petak ukuran lima meter 10 meter, masyarakat pakai, jadi jangan dahulu," ujarnya.

Pada prinsipnya, tambah Zainul, penilaian tanah di tepi jalan itu juga merupakan salah satu item wajib dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah (LKP) setiap tahun anggaran, sehingga akan tetap dilengkapi datanya.

Hanya saja, harus juga dilampirkan penjelasan sistem penggunaan tanah milik Pemprov NTB di tepi jalan, bagi tanah yang tengah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan hidup.

"Pada prinsipnya kita lengkapi, itu aset pemda, dan jelaskan sistem sewa-menyewa oleh masyarakat. Tapi pendataan menyeluruh belum bisa, kasihan juga masyarakat," ujar Gubernur NTB dua periode terturut-turut sejak 2008 itu.

Sebelumnya, Kepala BPK Perwakilan NTB Eldy Mustofa mengatakan, Pemprov NTB belum menuntaskan nilai tanah yang terletak di tepi jalan umum, sehingga berpengaruh terhadap penilaian atas LKP.

"Nilai tanah di jalan itu yang belum, kemarin-kemarin (LKP sebelumnya) yang tertera dalam neraca yakni nilai aset secara keseluruhan, belum termasuk nilai tanah di jalan itu," ujarnya.

Mostofa mengungkapkan bahwa opini "Disclaimer" atau tanpa pendapat, pada LKP Pemprov NTB tahun anggaran 2010, karena persoalan aset.

Saat itu, penilaian BPK utamanya adalah aset. Pada 2010 hampir 75 persen `disclaimer` itu karena persoalan aset.

Atas arahan BPK, Pemprov NTB kemudian menyelesaikan persoalan pelaporan aset itu, hingga meraih predikat WTP pada LKP 2011, karena dianggap mampu menyelesaikan persoalan utama yang menyebabkan LKP Provinsi NTB 2010 berpredikat "Disclaimer" itu.

Pemprov NTB kemudian meningkatkan penyelesaian persoalan aset, hingga kembali meraih predikat WTP pada LKP 2011, dan berlanjut pada opini WTP pada LKP 2012.

"Nah, sekarang sudah hampir sebagian besar persoalan aset Pemprov NTB itu sudah dibenahi. Masih tinggal nilai tanah di jalan umum itu yang belum. Tapi perkiraan kami akan bisa diselesaikan dalam satu atau dua tahun ke depan," ujarnya.

Menurut Mostofa, pihaknya menyarankan agar kembali dilakukan "appraisal" atau perkiraan nilai pasar dari aset berwujud, jika belum bisa mencantumkannya dalam neraca keuangan.

Aset tanah di jalan umum itu cukup banyak, sehingga akan dapat dituntaskan penilaiannya secara bertahap.

"Hal itu diupayakan agar neracanya sesuai. Misalnya, ada rumah dan tanah di tepi jalan umum. Harus ditelusuri asal-usul aset itu, dan nilainya pun harus sesuai, jangan sampai tertera dalam neraca tetapi tidak terdata di SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait. Bisa juga dalam neraca tertera nilai Rp200 juta sementara di SKPD tertera nilai Rp150 juta, maka tidak nyambung (tak sesuai)," ujarnya.

Mustofa menegaskan bahwa jika pendataan aset tidak sinkron antara neraca dan data SKPD, maka aset itu dianggap tidak ada, atau masih disebut bermasalah.

BPK sebagai aparat pemeriksa pun kesulitan memberi penilaian atas masalah tersebut, sehingga akan menimbulkan pendapat yang tidak baik.

"Ini yang perlu dibenahi, kami sudah ingatkan (Pemprov NTB), mudah-mudahan bisa dituntaskan," ujarnya.
(*)