Mensos: beda pendapatan suami-istri picu tingginya angka gugat cerai

id Gugat cerai

Mensos: beda pendapatan suami-istri picu tingginya angka gugat cerai

Menteri Sosial Hj Khofifah Indar Parawansa (1)

"Angka gugat cerai istri terhadap suami termasuk tinggi, yaitu di kisaran 60-70 persen"
Jakarta (Antara NTB) - Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, sudah ada data lima tahun lalu terkait dengan tingginya angka perceraian di Indonesia. Salah satunya karena beda afiliasi politik antara suami dan istri.
     "Angka gugat cerai istri terhadap suami termasuk tinggi, yaitu di kisaran 60-70 persen. Daerah tertinggi di Makassar 75 persen dan DKI Jakarta 70 persen," kata Mensos saat menghadiri resepsi 100 pasang pengantin di Ball Room Hotel The Ritz Carlton Kuningan, Jakarta, Kamis (10/3/2016).
     Ada korelasi, kata Mensos, terkait bagaimana komitmen di antara kedubelah pihak, yaitu suami dan istri dalam membangun dan menjalanai bahtera rumah tangga, terlebih setelah dikaruniai anak-anak.  
     "Sebagai contoh pada 1999, ranking 13 pemicu gugat cerai karena suami-istri berbeda afiliasi politik, kemudian disusul tahun 2014 berada di ranking ke 3 dengan pemicu beda income di antara keduanya," ujarnya.
     Disharmoni dalam hubungan suami-istri bisa dipicu karena beberapa faktor, salah satunya terkait perbedaan pendapatan (income). Misalnya, seorang istri yang berprofesi guru dan mendapatkan tambahan pendapatan, sedangkan pendapatan suami berada di bawah sang istri.
     "Ternyata hal itu menjadi pemicu gugat cerai istri terhadap suami, sehingga mesti ada keseimbangan dinamisatau equilibrium dynamic terkait perbedaan pendapatan atau 'take homepay' tersebut," katanya.
     Pada kondisi tersebut, kata dia, peran sang ayah menjadi signifikan dalam rumah tangga agar ada egalitarianisme, "trust:, serta respek terhdap istri, sehingga tidak ada gejolak yang berujung pada pengajuan cerai terhadap suami.
     "Saya kira ini merupkaan pekerjaan rumah bersama, tidak hanya bagi Kementerian Sosial (Kemensos), termasuk para religious leader agar ada ketahanan keluarga dan tidak terjadi subordinasi di dalamnya," ucapnya.
     Ke depan, kata Khofifah, diperlukan berbagai upaya penguatan ekonomi agar warga kurang mampu mendapatkan akses pada berbagai intervensi program perlindungan sosial, seperti KIP, KIS, KKS, PKH, Rastra, serta Rutilahu.
     "Program perlindungan pemerintah dengan berbagai intervensi bisa menjadi solusi dari percepatan dan upaya peningkatan kesejahteraan keluarga tidak mampu," tandasnya. (*)