Ketidaktegasan pemerintah picu konflik pemilikan tanah adat

id Masyarakat Adat

Ketidaktegasan pemerintah picu konflik pemilikan tanah adat

Aksi RUU Masyarakat Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggelar aksi damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, 24 Januari 2016. (ANTARA Foto) (1)

"Pemerintah tidak konsisten dengan UU Pokok Agraria, akhirnya banyak konflik yang terjadi soal masalah tanah adat"
     Sumbawa (Antara NTB) - Kepala Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan LSM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman menilai pemerintah tidak tegas dalam menerapkan peraturan Undang-Undang (UU) Pokok Agraria terkait masalah tanah adat.

        "Pemerintah tidak konsisten dengan UU Pokok Agraria, akhirnya banyak konflik yang terjadi soal masalah tanah adat," kata Arman, di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Jumat.

        Peraturan yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Dalam Pasal 2 butir 1 UU tersebut tercantum bumi, air dan kekayaan yang berada di dalamnya dikuasai oleh negara. Sementara pasal 2 butir 4 menyatakan bahwa hak negara untuk menguasai tanah dapat dikuasakan kepada daerah-daerah dan masyarakat hukum adat.

        "Jadi jelas dalam UU dinyatakan bahwa sumber tanah itu dari negara dan dari hak ulayat. Tetapi kenyataannya banyak komunitas adat yang belum diakui keberadaannya," katanya.

        Dalam komunitas-komunitas adat ini, kata Arman, sering terjadi perselisihan dengan pemerintah maupun swasta soal kepemilikan lahan.

        Ia mencontohkan beberapa konflik tanah adat diantaranya kasus lahan komunitas masyarakat adat Cek Bocek yang diambil alih oleh perusahaan tambang Newmont dan konflik lahan komunitas adat Talonang dengan PT Pulau Sumbawa Agro.

        "Perusahaan-perusahaan tersebut mengambil alih lahan atas izin negara. Pemda mengklaim itu tanah negara," katanya.

        Memang, diakuinya masyarakat adat tidak memiliki sertifikat tanah yang merupakan bukti kuat pemilikan tanah.

        Tetapi, kata dia, mereka memiliki beberapa dokumen lain seperti dalam kasus komunitas adat Talonang, komunitas adatnya memiliki surat keterangan kepemilikan lahan masyarakat Desa Talonang yang ditandatangani kepala desa setempat.

        Selain itu, beberapa penanda yang menjadi acuan kebenaran mereka sebagai komunitas adat adalah dengan melihat sejarah, susunan struktur adat desa dan bentang alam.

        "Keberadaan mereka ditandai dengan batas-batas wilayah misalnya sungai, batu besar. Selain itu penanda lainnya, kuburan tua, bekas kampung bersejarah dan lahan pertanian yang luas," katanya.

        Kabupaten Sumbawa tercatat memiliki sekurangnya 17 komunitas masyarakat adat. Dari jumlah tersebut, baru lima komunitas masyarakat adat yang sudah terverifikasi yakni komunitas adat Kanar, Ponto Ai Padeng, Pekasak, Cek Bocek dan Pusu.

         Kendati demikian semua komunitas adat itu belum diakui secara hukum.

        LSM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berupaya mendorong belasan masyarakat adat dan hak-hak mereka untuk diakui secara hukum melalui peraturan daerah yang saat ini masih berupa rancangan.

Editor : Santoso
(*)