Mataram (ANTARA) - Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Abdul Kadir Karding menyebut 90 persen kasus Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri akibat berangkat secara nonprosedural atau ilegal.
"Jadi 90 persen kasus PMI kita, ketika ada di negara penempatan, itu akibat berangkat nonprosedural," ungkap Abdul Kadir Karding didampingi Penjabat Gubernur NTB Hassanudin pada rapat koordinasi dengan Forkopimda di Pendopo Gubernur NTB di Mataram, Rabu.
Ia mengakui secara devisa atau remitansi dari hasil PMI pada 2023 mencapai Rp227 triliun, atau nomor dua terbesar setelah devisa dari sektor migas.
"Jadi cukup besar (devisa, red). Dan ini tentu menjadi perhatian Presiden Prabowo yang menginginkan kementerian ini mengelola tata kelola penempatan dan perlindungan PMI ini dari hulu ke hilir bisa lebih baik, utamanya perlindungan bagi PMI," ujarnya.
Menurut dia, untuk memberikan perlindungan kepada PMI ke depan dibutuhkan analisa masalah apa saja dan potensi apa saja yang bisa dioptimalkan agar berdampak bagi negara dan bangsa serta masyarakat.
"Rata-rata masalah utama banyak kasus di luar negeri itu karena berangkat nonprosedural atau ilegal karena main berangkat aja. Salah satu penyebab utamanya berangkat dengan visa turis. Biasanya perantaranya calo atau kelompok calo atau perusahaan yang berubah fungsi menjadi calo. Bisa perusahaannya P3MI, bisa lembaga pelatihan," terang Abdul Kadir Karding.
Baca juga: Kementerian PPMI membantu kembalikan dokumen penting milik Mila
Ia menyebut PMI yang berangkat itu yang pertama dibutuhkan adalah izin dari keluarga, apakah bapak ibunya, apakah suaminya, apakah itu walinya, kakak atau adik. Selain izin keluarga juga harus mendapat rekomendasi/izin dari kepala desa.
"Jadi masalah nonprosedural itu salah satunya kita harus benahi di desa. Sebab biasanya karena calo ini sudah lama bekerja tidak meminta izin ke kepala desa tetapi RT/RW untuk ke Jakarta, nanti di Jakarta berubah. Berangkatlah ke Malaysia dan Arab Saudi," ucapnya.
Lebih jauh Karding mengakui secara data jumlah PMI yang terdaftar secara prosedural mencapai 5 juta orang, sementara PMI yang nonprosedural berdasarkan data Bank Dunia tahun 2017 sebanyak 4,3 juta. Namun, karena data sudah tujuh tahun, dirinya memperkirakan angkanya bisa lebih dari yang disebutkan Bank Dunia.
Baca juga: Kementerian PPMI dan IOM gelar orientasi pra-pemberangkatan CPMI NTB ke Malaysia
"Dan ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat kompleks. Jadi untuk mengatasi ini butuh waktu dan banyak pihak yang harus terlibat," ujarnya.
Namun paling tidak ke depan, lanjut Menteri PPMI, upaya yang harus dilakukan adalah pertama PMI harus dipaksa tidak berangkat nonprosedural. "Ini harus di bantu oleh pemerintah daerah, terkait pelayanan. Karena pusat pertama rekrutmen PMI itu ada di desa, kemudian melalui media sosial," imbuh Karding.
Kedua adalah harus ada peningkatan SDM atau vokasi dengan pemberian pelatihan melalui lembaga pelatihan yang ada.
"Lembaga-lembaga pelatihan ini harus di perbanyak di daerah sehingga masyarakat kita tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta, Surabaya atau Bali. Kalau anggaran terbatas kita minta pemda juga ikut membantu keluarkan dari APBD untuk pelatihan ini," katanya.
Baca juga: PMI ilegal asal Lombok Tengah tewas di Malaysia tak dapat perlindungan sosial
Baca juga: Tujuh WNI meninggal di Serawak Malaysia, KJRI upayakan pemulangan jenazah
Baca juga: 767 orang diduga PMI ilegal di Batam tunda keberangkatan
Baca juga: BP2MI gagalkan keberangkatan belasan Calon PMI ilegal di Bandara Lombok
Baca juga: Polisi tangkap pemilik penampungan pekerja migran