ICW: capres/cawapres harus perhatikan pengelolaan pangan

id ICW,debat capres,capres cawapres,minggu besok

ICW: capres/cawapres harus perhatikan pengelolaan pangan

. (1) (1/)

Pemilihan Presiden harus menjadi ajang koreksi untuk permasalahan pangan, energi, lingkungan hidup, dan infrastruktur
Mataram (Antaranews NTB) - Indonesia Corruption Watch menyatakan calon presiden dan calon wakil presiden harus menanggapi serius soal sektor pangan dan lingkungan hidup pada debat capres/cawapres, Minggu (17/2).
     
Perlu ada kecermatan untuk menengok isu-isu tersebut. ICW rutin melakukan pemantauan terhadap keseluruh sektor tersebut. Saat ini, pemantauan berfokus pada sektor pangan, energi, dan lingkungan hidup, kata Divisi Riset ICW, Firdaus Ilyas melalui siaran persnya, Sabtu.

Adanya indikasi transaksi tidak dilaporkan ditemukan dalam pengelolaan impor pangan Indonesia yaitu beras, jagung, kedelai, dan daging. Nilai transaksi yang tidak dilaporkan mencapai 1,451 miliar dolar AS atau setara dengan Rp20,324 triliun.

Hal ini didapat dari besar volume yang terindikasi tidak dilaporkan sebesar 2.743.296 ton. Selama tahun 2005–2017, volume impor menurut data versi pemerintah (Badan Pusat Statistik) sebanyak 56.593.711 ton. Sedangkan menurut negara penjual volumenya sebanyak 59.337.007 ton.

Indikasi kerugian negara ditemukan dalam pengelolaan ekspor komoditas tambang yaitu batubara, timah, dan bijih nikel. Dalam kurun waktu 2007–2017, nilai indikasi kerugian negara dari tiga jenis tambang tersebut mencapai Rp144,762 triliun. Masing-masing yaitu batubara Rp130,334 triliun, timah Rp7,635 triliun, dan bijih nikel Rp6,793 triliun.

Masalah-masalah itu terjadi akibat ketidakjelasan visi dan cita-cita pemerintah dalam pengelolaan pangan, energi, lingkungan hidup, dan infrastruktur. Terdapat ketidakjelasan dari segi perencanaan dan inkonsistensi kebijakan, sehingga menciptakan loophole di regulasi dan kelembagaan.

Pada sisi lain, ketergantungan terhadap sumber daya alam untuk dijadikan sumber penerimaan juga masih tinggi. Koordinasi antar instansi pemerintah yang berwenang juga dapat dikatakan buruk. Terdapat ragam jenis data berbeda yang digunakan masing-masing instansi. Biaya produksi pun tinggi, terutama untuk pangan dan energi sehingga memunculkan hal-hal seperti inefisiensi, rantai nilai panjang, budaya broker, dan sebagainya.

Masalah-masalah lain juga berbaris untuk diselesaikan. Pengawasan dan penegakan hukum terkait pengelolaan pangan, energi, lingkungan hidup, dan infrastruktur sangat buruk. Transparansi dan akuntabilitas lemah, bisnis hanya dikuasai oleh segelintir elit. Dampaknya manfaat untuk publik seluas-luasnya tidak dirasakan. Penerimaan negara rendah, dan indikasi penyimpangan dan korupsi akan terus ditemukan.

Kondisi tersebut, kata dia, harus direspons serius oleh kedua kandidat. Siapapun yang terpilih harus melakukan perbaikan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Selama ini lingkungan hidup tidak pernah diperhatikan secara serius sehingga berdampak semakin buruk pada kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan kesehatan warga. Perlu ada paradigma berpikir yang mementingkan generasi mendatang.

“Pemilihan Presiden harus menjadi ajang koreksi untuk permasalahan pangan, energi, lingkungan hidup, dan infrastruktur. Perlu ada inovasi dan komitmen dari kedua kandidat untuk menuntaskan permasalahan,” katanya.