Mataram (ANTARA) - Sekretaris Daerah (Sekda) Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), HM Juaini Taofik mengatakan alunan budaya Desa Pringgesela secara berturut turut masuk dalam Kalender Karisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata sejak 2023 sampai 2025.
"Hal ini adalah bukti kekuatan masyarakat Pringgasela dalam melestarikan budaya lokal untuk kesejahteraan masyarakat," kata HM Juaini Taofik saat acara puncak perayaan alunan budaya Pringgesela, dalam keterangan tertulisnya di Lombok Timur, Senin.
Ia mengatakan di tengah minimnya dana, masyarakat Pringgasela tetap mampu menunjukkan kualitas dan semangat menjaga tradisi.
Oleh karena itu, hal ini diharapkan dapat tetap dipertahankan, sehingga bisa memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.
"Budaya ini harus tetap dipertahankan dan dilestarikan," katanya.
Baca juga: Lombok Timur menggelar Alunan Budaya Pringgasela 2024
Sekda menyampaikan apresiasi tinggi atas suksesnya pelaksanaan Alunan Budaya Pringgasela dan diharapkan agar menjadi ruang bagi anak muda terus dibuka, sekaligus mendorong adanya sinergi lintas generasi.
“Kalau tetap ikhtiar, anak muda diberi ruang dan kesempatan, dan anak muda menghormati orang tua, maka menjadi 10 besar terbaik di KEN bukan hal yang mustahil,” katanya.
Sementara itu, Staf Ahli Bidang Sosial dan Kemasyarakatan Provinsi NTB Dr Akhsanul Khalik memberikan sudut pandang yang lebih filosofis. Ia menyebut bahwa Alunan Budaya Pringgasela bukan sekadar panggung seni, tetapi pantulan nilai-nilai budaya dan spiritualitas yang hidup dalam masyarakat secara turun-temurun.
“Ini bukan sekadar pertunjukan seni. Ini adalah cermin jiwa, pantulan roh kolektif, dan doa dari masa lalu yang disulam dalam langkah masa kini,” katanya.
Baca juga: 10 warga Pringgasela tertimpa pohon tumbang
Ia mengatakan Pringgasela bukan hanya dikenal sebagai kampung tenun, tetapi juga pusat peradaban lokal yang kaya akan nilai dan filosofi. Menurutnya, tenun adalah bentuk komunikasi budaya yang dalam.
“Tenun adalah bahasa yang bicara tentang kerja kolektif. Tentang ibu-ibu yang menenun tidak hanya dengan tangan, tetapi dengan hati. Ia lahir dari keheningan, menyatu dengan alam dan membawa pesan gotong royong,” katanya.
Ia menambahkan, setiap helai benang yang ditenun mengandung ajaran tentang persatuan, saling menopang dan kebersamaan, yang menurutnya sangat relevan menjadi dasar dalam membangun NTB hari ini dan masa depan.
Dengan mengusung tema “9 Kali Lahirnya”, acara ini dinilainya menjadi refleksi bahwa budaya lokal tak akan pernah mati. Budaya hanya menunggu waktu untuk kembali lahir melalui generasi muda yang mencintai nilai-nilai leluhur.
“Budaya bukan untuk dipamerkan saja, tetapi untuk dihayati, dibela dan diwariskan,” katanya.
