Belas kasihan tanpa pendidikan: Analisis mentalitas pengemis di Kota Mataram

id Belas kasihan tanpa pendidikan,Analisis ,mentalitas ,pengemis ,Kota Mataram Oleh Ida Bagus Alit Arta Wiguna *)

Belas kasihan tanpa pendidikan: Analisis mentalitas pengemis di Kota Mataram

Ilustrasi: Pengemis mengeksploitasi anak (Ida Bagus Alit Arta Wiguna)

Mataram (ANTARA) - Setiap Jumat pagi hingga siang, suasana Kota Mataram selalu dipenuhi hiruk-pikuk warga yang beraktivitas. Namun di tengah keramaian itu, ada pemandangan lain yang mulai menjadi rutinitas: kemunculan para pengemis musiman di sejumlah titik strategis kota.

Mereka hadir dengan berbagai cara menyentuh hati, salah satunya seorang perempuan muda yang duduk di tepi jalan sambil menggendong bayi yang tertidur sepanjang hari.

Sekilas, pemandangan itu mengundang rasa iba. Namun ketika muncul dugaan bahwa bayi tersebut sengaja diberi obat tidur agar tidak menangis, simpati berubah menjadi perdebatan publik. Media sosial dipenuhi komentar yang mencerminkan dilema klasik: antara belas kasihan dan kecurigaan, antara niat membantu dan rasa ditipu.

Pemerintah Kota Mataram melalui Dinas Sosial memang sudah melakukan penertiban dan membawa sebagian pengemis ke rumah singgah. Akan tetapi, langkah semacam ini sering kali berhenti pada tataran administratif. Ia mungkin menertibkan jalanan, tetapi belum tentu menata akar persoalan yang sesungguhnya.

Fenomena pengemis musiman ini lebih dari sekadar persoalan ekonomi. Ia mencerminkan bentuk tuna sosial--situasi ketika individu kehilangan fungsi produktifnya di tengah masyarakat, dan hidup sepenuhnya bergantung pada empati orang lain. Dalam kondisi seperti ini, memberi uang receh di jalan tidak lagi sekadar tindakan kebaikan, tetapi juga bisa menjadi mekanisme yang melanggengkan ketergantungan.

Secara sosiologis, masalah ini menyentuh dimensi moral masyarakat. Tindakan memberi sering kali dilakukan bukan karena kebutuhan si penerima, melainkan karena dorongan untuk merasa baik bagi si pemberi. Kita merasa lega setelah mengulurkan tangan, tetapi jarang berpikir apakah tindakan itu benar-benar membantu mereka keluar dari lingkaran kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Di sinilah relevansi pemikiran para filsuf klasik seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates menekankan pentingnya kesadaran moral--keberanian untuk bertanya apakah perbuatan baik kita betul-betul bermakna. Plato percaya bahwa ketika negara gagal mendidik martabat warganya, yang muncul adalah kelas sosial yang pasif dan bergantung. Sedangkan Aristoteles memperkenalkan istilah akrasia, yakni kondisi ketika seseorang tahu apa yang benar, tetapi tetap memilih jalan yang mudah: memberi tanpa membangun.

Fenomena sosial di Mataram menunjukkan bahwa belas kasihan tanpa pendidikan sosial hanya menciptakan pola hidup meminta tanpa karya. Memberi dan menerima menjadi ritual yang berulang tanpa proses pembelajaran apa pun. Sementara itu, masyarakat terus terjebak dalam siklus rasa iba yang menenangkan batin sesaat, tapi tidak menyelesaikan masalah.

Sudah saatnya kebijakan bantuan dan sedekah diarahkan kembali pada tujuan mulia: membangun martabat manusia. Bantuan sosial seharusnya tidak berhenti pada pemberian materi, melainkan menjadi sarana pendidikan sosial, mengajarkan kemandirian, tanggung jawab, dan harga diri.

Kita memang tidak dilarang berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan yang sejati adalah yang memampukan orang lain berdiri di atas kakinya sendiri. Ketika bantuan mampu menumbuhkan semangat berkarya, barulah ia menjadi amal sosial yang mendidik, bukan yang meninabobokan.

*) Penulis adalah Mahasiswa S3 Program Studi Doktor Pendidikan Ganesha



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.