Pendapatan usaha korban kriminalisasi polisi turun setelah berkasus

id Kriminalisasi polisi

Pendapatan usaha korban kriminalisasi polisi turun setelah berkasus

Saksi Mazratul Anini (kedua kanan) dan Lalu Muhammad Amrul (kiri), hadir dalam sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri Mataram, NTB, Selasa (26/3). (Foto Antara/Dhimas BP)

Mataram (ANTARA) - Pendapatan usaha Mahendra Irawan, korban kriminalisasi kepolisian menurun setelah tersandung kasus pemalsuan dokumen jual beli tanah di Desa Labuapi, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Hal tersebut terungkap dalam kesaksikan Mazratul Aini, salah seorang karyawatinya yang dihadirkan oleh Tim Penasihat Hukum Mahendra Irawan dalam sidang lanjutan Praperadilannya di Pengadilan Negeri Mataram, Selasa.

"Sebelum Bapak (Mahendra Irawan) ditahan, omzet bisa sampai Rp2 juta sehari. Tapi setelah tidak ada yang kontrol, Bapak ditahan, omzet cuma Rp500 ribu sepekan, itu pun kalau ramai-ramainya di Sabtu-Minggu," kata Mazratul Aini di hadapan Hakim Tunggal Praperadilan Ferdinand M Leander.

Selain mendengar kesaksian karyawatinya, keterangan juga didengarkan dari dua orang penasihat hukum Mahendra Irawan yang mendampinginya pada saat kasus masih bergulir di kepolisian.

Kesaksian itu awalnya disampaikan oleh Lalu Muhammad Amrul, yang menyebutkan bahwa dirinya mendampingi kasus hukum yang menjerar Mahendra Irawan dengan sukarela tanpa mengharapkan imbalan.

"Sampai sekarang tidak ada saya terima imbalan apapun, karena memang saya mendampingi Mahendra Irawan ini tanpa mengharapkan upah," kata Amrul.

Senada turut disampaikan Gabriel, rekan tim penasihat hukum Lalu Muhammad Amrul. Dalam kesaksiannya dia menyatakan bahwa dirinya hingga saat ini belum menerima upah dari pendampingan hukum yang diberikan kepada Mahendra Irawan.

"Waktu itu saya mendampingi Mahendra Irawan pada pertengahan tahun 2017, saat kasusnya masih dalam tahap penyelidikan. Sampai kasusnya masuk ke tahap kasasi, tidak ada saya terima uang dari Mahendra Irawan," ucap Gabriel.

Mahendra Irawan atau yang akrab disapa Haji Awan ini tersandung kasus pidana membuat surat palsu dan atau pemalsuan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (1) dan (2) KUHP Juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.

Penerapan pasal tersebut sebagaimana yang telah disebutkan dalam Surat Perintah Penyidikan Ditreskrimum Polda NTB pada 26 Mei 2017 dengan nomor surat Sidik/80.a/V/2017/Ditreskrimum.

Dalam proses pemeriksaannya, Haji Awan mendapat perlakuan tidak wajar dari penyidik kepolisian. Bahkan penyidik yang disebutkan berinisial KTM sempat menodongkan senjata api ke arah Haji Awan ketika menjalani pemeriksaan dengan status saksi.

Aksi itu diduga karena Haji Awan tidak mau mengaku dan menandatangani berita acara penangkapan dan penahanannya yang terkesan dibuat-buat.

Meskipun Awan sempat menjelaskan dan menunjukkan bukti yang menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Namun pemeriksaan tetap berlanjut hingga akhirnya dia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan sejak 21 Desember 2017.

Kasusnya pun kemudian naik ke meja persidangan di Pengadilan Negeri Mataram. Namun dalam proses persidangannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram yang dipimpin Motur Panjaitan menyatakan Haji Awan tidak bersalah hingga membebaskannya dari seluruh dakwaan.

Begitu juga hasil persidangan di tingkat Kasasi Mahkamah Agung, Haji Awan dinyatakan tidak bersalah. Bahkan dari kasasinya, Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa ada upaya kriminalisasi yang dilakukan penyidik kepolisian dalam kasus Haji Awan.

Hal tersebut yang kemudian menjadi salah satu alasan kuat Haji Awan mengajukan praperadilan dan melaporkan Kapolda NTB sebagai pihak termohon.

Selain itu, permohonan praperadilan dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp162 juta tersebut diajukan karena selama menjalani penahanan, pendapatan usahanya hilang.

Berdasarkan aturan hukum acara yang tercantum dalam Pasal 1 Butir 22 KUHAP, dijelaskan, ganti rugi merupakan hak seseorang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan atau karena kekeliruan hukum yang diterapkan.