Inggris diminta menghentikan "gag order" dalam kasus diskriminasi

id Gedung Parlemen Inggris di London

Inggris diminta menghentikan "gag order" dalam kasus diskriminasi

Pengunjuk rasa anti-Brexit berada di luar Gedung Parlemen di London, Inggris, Rabu (15/5/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Hannah Mckay/djo/foc

Mataram (ANTARA) -  Inggris harus menghentikan pelecehan luas apa yang disebut "gag order" untuk membungkam korban diskriminasi dan gangguan, kata beberapa anggota Parlemen.

"Gag order" adalah perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan atau pemerintah, untuk membatasi informasi atau komentar disiarkan secara luas atau diserahkan kepada pihak ketika yang tidak berwenang.

Ada keprihatinan bahwa para bos terus menggunakan kesepakatan non-pengungkapan (NDA), atau kesepakatan kerahasiaan, untuk membungkam pegawai dan pengungkap keterangan ketika mencapai penyelesaian dalam berbagai kasus termasuk pelecehan seksual dan keluhan diskriminasi.

Anggota Parlemen mengatakan mereka sangat prihatin bahwa sebagian pihak memanfaatkan NDA untuk menghindari penyelidikan prilaku yang melanggar hukum dan meminta pertanggung-jawaban tersangka.

"Benar-benar tak bisa diterima bahwa tuduhan diskriminasi yang melanggar hukum dan gangguan di tempat kerja secara rutin ditutup-tutupi oleh atasan dengan memanfaatkan NDA, yang dirancang sesuai hukum," kata mereka di dalam satu laporan pada Selasa setelah pemeriksaan yang dilancarkan tahun lalu.

Mereka mengatakan masalah tersebut ditambah oleh kesulitan dan resiko keuangan untuk melancarkan kasus di pengadilan ketenagakerjaan, yang membuat orang yang mungkin menjadi penggugat merasa mereka tidak memiliki pilihan kecuali mencapai penyelesaian sekalipun jika itu menghalangi mereka berbicara.

Maria Mille, yang memimpin Komite Perempuan dan Kesetaraan, mengatakan penggunaan NDA dalam kasus diskriminasi dan pelecehan adalah "kendaraan yang sangat suram dan terburuk untuk menutup-nutupi perbuatan yang melanggar hukum dengan kerahasiaan yang dilindungi hukum".

Perdebatan seputar penggunaan NDA di Inggris kembali mencuat tahun lalu, di tengah laporan bahwa muti-jutawan pengecer Philip Green telah menggunakan NDA setelah dugaan pelecehan seksual dan pelecehan rasis terhadap stafnya.

Green, pengusaha yang kelompok Arcadianya memiliki rantai fesyen TopShop, telah membantah tuduhan tersebut.

Banyak atasan di Inggris juga telah menggunakan NDA dalam sengketa yang berkaitan dengan kehamilan dan kelahiran.

Banyak anggota Parlemen mengatakan mereka terkejut saat mengetahui dampak yang sangat merugikan yang bisa ditimbulkan oleh kesepakatan semacam itu terhadap banyak orang, dan banyak orang mendapati karir mereka hancur.