Datangi Kantor Wali Kota, nelayan Pondok Perasi Mataram menolak dieksekusi

id mataram,nelayan,demo

Datangi Kantor Wali Kota, nelayan Pondok Perasi Mataram menolak dieksekusi

Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kota Mataram Lalu Martawang berikan penjelasan kepada puluhan nelayan Lingkungan Pondok Perasi, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang berunjuk rasa di Kantor Wali Kota Mataram, menolak eksekusi lahan. Kamis (19/12-2019) (Foto: ANTARA News/Nirkomala)

Mataram (ANTARA) - Puluhan nelayan dari Lingkungan Pondok Perasi, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, kembali berunjuk rasa di Kantor Wali Kota Mataram, menuntut agar pemerintah setempat menolak eksekusi lahan yang selama ini mereka tempati.

Puluhan nelayan yang dikomandani Kharuddin selaku perwakilan dari Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) Kota Mataram, diterima oleh sejumlah jajaran Pemerintah Kota Mataram dipimpin Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kota Mataram Lalu Martawang di Mataram, Kamis.

Dalam orasinya, Kharuddin mengatakan, apabila pemerintah kota membiarkan eksekusi terjadi maka sama artinya pemerintah sengaja memberikan warganya hidup terlantar.

Oleh karena itu, warga butuh statemen politik dari kepala daerah bahwa tanah itu sah ditinggali warga sejak puluhan tahun dan warga ingin tetap tinggal di situ.

"Masa pemerintah kalah dengan satu orang. Karena itu, warga tetap menolak penggusuran yang akan dilakukan pada Sabtu (21/12)," katanya.

Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kota Mataram Lalu Martawang di hadapan massa menjelaskan, bahwa dalam hal ini pemerintah kota tidak memiliki hak dan kewenangan untuk masuk ke rahan hukum.

"Pemerintah kota juga harus tetap mempertahankan integritas, kejujuran dan menghormati supremasi hukum yang ada, dengan tidak mengakui tanah tersebut milik pemerintah kota maupun milik warga karena kita tidak punya bukti akurat," katanya.

Lahan seluas 80 are yang ditempati warga RT.08 Lingkungan Pondok Perasi oleh 83 kepala keluarga (KK) atau 273 jiwa itu, sudah melalui proses hukum dan putusan pengadilan sudah berkekuaran hukum tetap (inkrah) dimenangkan oleh memilik lahan Ratna Sari Dewi.

"Karena dalam masalah hukum, kita tidak bisa berbuat apa-apa," katanya menjelaskan.

Namun untuk memberikan keamanan dan kenyamanan terhadap warga yang akan terdampak eksekusi, pemerintah sudah mengambil beberapa kebijakan jangka pendek maupun jangka panjang.

Jangka panjang, nelayan akan dibangunkan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Kelurahan Bintaro yang akan dibangun tahun 2020, dan ditargetkan rampung Oktober 2020.

Sedangkan jangka pendek, saat ini di lahan pembangunan rusunawa Bintaro, telah disiapkan tenda untuk ditempati sementara. Tapi, pemerintah kota telah menyiapkan berbagai fasilitas pendukung, seperti dapur umum, air bersih, fasilitas jalan dan lampu penerang.

Selain itu, pemerintah kota akan membangun hunian sementara (huntara) agar masyarakat bisa lebih nyaman, dengan menggunakan konstruksi bekas sekolah sementara SMPN 6 Mataram ketika gempa bumi.

"Di samping itu, kami juga menyiapkan 40 kamar di Rusunawa Selagalas dan Mandalika untuk siapa saja warga yang ingin tinggal sementara dan kami siap membantu proses pengangkutan barang-barang dengan menyiapkan personel dan armada," katanya.

Upaya yang dilakukan pemerintah kota itu dalam jangka pendek ini, tambahnya, sifatnya sangat sementara tujuannya agar masyarakat tidak terkesan ditelantarkan.

Kegiatan unjuk rasa warga nelayan yang dijaga ketat oleh aparat kepolisian ini berlangsung lebih lama dibandingkan unjuk rasa sebelumnya pada Senin (16/12) karena warga terus mendesak pemerintah agar tidak dilakukan eksekusi.

"Tapi, pemerintah kota telah menjamin bahwa siapapun yang terdampak eksekusi akan mendapatkan haknya tinggal baik di tenda sementara, huntara maupun di rusunawa," katanya.

Setelah mendengarkan penjelasan dari pemerintah kota dengan panjang lebar, para pengunjuk rasa kemudian membuarkan diri dan melanjutkan aksi mereka ke Pemerintah Provinsi NTB, karena merasa belum puas dengan jawaban yang diberikan pemerintah kota.