Jakarta (ANTARA) - Siang itu, Istiana bolak balik keluar masuk kamar untuk melayani pelanggan di warungnya, dan sesekali menenangkan anak bayinya yang terus menerus menangis.

Bayinya, Bagus, terus menangis bukan karena minta disusui. Tetapi karena biang keringat yang menyebabkan ruam merah hampir di seluruh bagian lehernya dan juga menyebabkan rasa gatal.

Istiana mengatakan biang keringat itu disebabkan oleh cuaca panas dan udara kotor yang menyerbu masuk ke dalam warung yang menyambung langsung dengan kamar tempatnya tinggal.

Biang keringat itu sering muncul sejak ia pindah kontrakan yang berada di pinggir Jalan Marunda Makmur, yang membentang di antara kelurahan Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, dan berbatasan dengan kawasan Marunda Center di Bekasi, Jawa Barat.

Baca juga: Pengamat sarankan penerapan ganjil genap 'full day'

Selain terkena biang keringat yang menyebabkan ruam dan gatal-gatal, Bagus, yang masih balita, juga sering sakit akibat batuk.

Asap kendaraan yang keluar dari ribuan corong asap kendaraan yang setiap hari melintas di sepanjang jalan kawasan industri itu terus mengepul disertai debu yang berterbangan, meracuni kehidupan warga di sekitar kawasan tersebut.

Baca juga: Pemprov DKI Jakarta luncurkan aplikasi Uji Emisi Elektronik

Pengamat udara ITB Drijana mengatakan debu halus atau fine particulate yang ada udara dapat menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan.

"Particulate matters (PM) 2,5 adalah debu halus di udara yang ukurannya sangat kecil dan bisa langsung masuk ke saluran pernapasan," katanya.

Sementara debu yang ukurannya sangat halus atau disebut ultrafine particulate bahkan bisa masuk ke saluran peredaran darah.

"Yang sakit asma bisa kumat dan pada penderita COPD, penyakit yang hampir sama dengan asma tetapi kronik, bisa juga meninggal karena penyakit jantung dan pernapasan. Selain itu bisa juga menurunkan imunitas tubuh dan gangguan syaraf," katanya dalam sebuah pemaparan di Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2019.

Udara kotor tidak hanya menjadi momok bagi warga di Marunda, Jakarta Utara, tetapi juga di wilayah lain di Jakarta.

Isu pencemaran udara di Jakarta terus bergulir dan menjadi PR besar bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengendalikannya.

Beberapa upaya untuk mengendalikan polusi udara di Jakarta dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Salah satunya dengan membuat roadmap Jakarta Air Cleaner 2030 yang di dalamnya terdapat 14 strategi untuk mengatasi pencemaran udara di ibu kota.

Namun demikian, menurut pegiat lingkungan hidup dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Dwi Sawung, strategi tersebut tidak akan cepat memperbaiki kualitas udara di Jakarta.

"Dibutuhkan upaya darurat untuk mengatasinya, salah satunya kami mendesak Pemprov DKI untuk mengimbau warga Jakarta agar menggunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan," katanya.

Desakan itu, menurut dia, menjadi bentuk pengakuan pemerintahan setempat bahwa mereka sadar belum mampu mengatasi polusi udara.

Walhi menganggap Pemprov DKI tidak melakukan upaya cukup untuk membersihkan udara Jakarta.

"Hanya alam yang membersihkan udara Jakarta," kata Sawung.

Selain mendesak Pemprov DKI untuk mengimbau warga menggunakan masker, ia juga mendesak pemerintahan setempat untuk membatasi jumlah kendaraan yang berlalu lalang di ibu kota, salah satunya dengan mendesak perluasan sistem ganjil genap.

Menurut dia, strategi tersebut cukup efektif untuk secara cepat membatasi laju kendaraan di ibu kota.

"Ganjil genap diperluas. Memang ekstrem dan pasti banyak yang mengeluh. Tapi ini kan alasannya kuat," tutur dia.

Sawung menilai kebijakan tersebut memang tidak populer, tetapi menurutnya, perluasan sistem ganjil genap dapat memaksa masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan sehingga mampu sedikit mengurangi pencemaran udara di Jakarta.

"Lumayan, tetapi tidak terlalu besar (penurunannya)."

Pegiat lingkungan hidup tersebut mencontohkan pemberlakuan ganjil genap yang diterapkan tahun lalu saat penyelenggaraan Asian Games 2017.

Ia menilai pemberlakuan ganjil genap tersebut cukup efektif untuk menurunkan tingkat polusi udara di Jakarta.

"Tahun lalu kalau misal enggak ada ganjil genap yang diperluas, itu sama parahnya dengan tahun ini," katanya.

"Jadi ini alasan cukup kuat untuk Pemprov melakukan pembatasan kendaraan. Jadi walaupun enggak populer, mau enggak mau harus dilakukan," tuturnya.

Bak gayung bersambut, satu hari setelah saran tersebut disampaikan melalui media, Gubernur Anies Baswedan pada Kamis (1/8) mengesahkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 tahun 2019 tentang pengendalian kualitas udara di ibu kota, yang di dalamnya juga memuat ketentuan tentang perluasan ganjil genap.

Kemudian pada Rabu (7/8), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menetapkan 16 ruas jalan perluasan kebijakan ganjil genap. Kendaraan dengan nomor polisi ganjil beroperasi pada tanggal ganjil, dan kendaraan dengan nomor polisi genap beroperasi pada tanggal genap.

Ruas jalan baru tersebut meliputi Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Majapahit, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim.

Kemudian Jalan Fatmawati mulai simpang Jalan Ketimun 1 sampai dengan Jalan TB Simatupang.

Selanjutnya Jalan Suryopranoto, Jalan Balikpapan, Jalan Kyai Caringin, Jalan Tomang raya, Jalan Pramuka, Jalan Salemba Raya, Jalan Kramat Raya, Jalan Senen Raya dan Jalan Gunung Sahari.

Koridor satu yang semula Sudirman Thamrin-Merdeka Barat akan diperpanjang di sisi utara mulai dari Jalan Majapahit, Gajah Mada, Hanyam Wuruk sampai dengan Kota.

Kemudian di sisi selatan akan diperpanjang Sisingamangaraja Panglima Polim sampai dengan Fatmawati sampai Simpang TB Simatupang.

Selain mempertimbangkan aturan ganjil genap untuk kendaraan roda dua, Pemprov DKI juga mengkaji aturan ganjil genap bagi taksi daring atau taksi i, meski Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Selasa (13/08), mengatakan hingga saat ini belum ada keputusan terkait taksi daring bebas dari penerapan sistem ganjil dan genap.

Kritik

Setelah aturan dan sosialisasi sistem ganjil genap diberlakukan, banyak pihak menganggap kebijakan tersebut memiliki banyak celah untuk dikritisi.

Wakil Ketua Komisi A Bidang Pemerintahan DPRD DKI Jakarta William Yani menilai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ceroboh menerapkan aturan ganjil genap tanpa adanya kajian akademis.

"Menurut saya ceroboh tanpa ada kajian akademis, langsung lakukan keputusan," kata dia saat dihubungi Antara di Jakarta, Kamis (8/8).

Ia juga menilai kebijakan tersebut tidak memiliki dasar hukum kuat.

Baca juga: Uji coba ganjil genap, kualitas udara Jakarta di tingkat sedang

"Harus Peraturan Gubernur karena kalau Ingub tidak ada dasar hukumnya," kata dia lebih lanjut.

Sementara itu, Pengamat Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menyatakan pembatasan sepeda motor lebih baik ketimbang perluasan ganjil-genap untuk mengurangi dampak polusi serta kemacetan di Ibu Kota.

Djoko menilai polusi di Jakarta dan sekitarnya sebagian besar disumbang dari kendaraan roda dua karena jenis kendaraan tersebut yang paling banyak melintas.

Dia menyebutkan proporsi kendaraan sepeda motor di jalanan Ibu Kota mencapai 75 persen, sementara kendaraan pribadi 23 persen dan angkutan umum tertinggal jauh hingga dua persen.

Apapun aturan yang diberlakukan dan seberapun besarnya pro kontra yang timbul dari aturan itu, upaya untuk mengendalikan polusi udara membutuhkan partisipasi banyak pihak.

Tidak hanya pemerintah dan dinas lingkungan hidup terkait untuk melakukan berbagai upaya pengendalian, tetapi juga kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan itu dan menyadari pentingnya upaya bersama untuk menjaga kualitas udara di Jakarta.

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019