Polisi melakukan penyelidikan, namun pemerintah perlu membina dengan melakukan pendekatan pada tokoh masyarakat atau tokoh adat
Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) berpendapat untuk mengatasi maraknya pertambangan ilegal di berbagai daerah, harus terlebih dahulu memutus rantai pasokan kegiatan tersebut.

"Tambang ilegal atau pertambangan tanpa izin (peti) itu suatu mata rantai. Jika rantai pasokan terputus, maka Peti akan berkurang," kata Ketua Umum Perhapi, Rizal Kasli dalam diskusi media bertajuk "Mencari Solusi Penertiban Tambang Ilegal" di Jakarta, Senin.

Rizal Kasli menjelaskan setiap kegiatan pertambangan ilegal pasti melibatkan mata rantai. Mata rantai di sini mulai dari pekerja atau penambangnya, pemodal, pemasok bahan baku, penampung atau pihak pembeli hingga keterlibatan oknum aparat.

Ia mengingatkan kegiatan peti sekarang sudah menggunakan alat-alat berat dan memakai zat merkuri dan sianida. Jika jalur pasokan bahan kimia dan alat berat itu dihentikan, Rizal yakin mata rantai praktik terlarang itu terhenti.

Menurut Rizal, kepastian penggunaan material yang legal juga dilakukan untuk sektor properti. Kontraktor bangunan kini sudah harus melampirkan bukti legalitas penggunaan material bangunannya.

Oleh karena itu, Rizal menilai perlu ada penegakan hukum yang tegas untuk memberantas tambang ilegal. Di sisi lain, pemerintah dan pihak terkait perlu memberikan sosialisasi dan edukasi guna menyadarkan masyarakat.

"Polisi melakukan penyelidikan, namun pemerintah perlu membina dengan melakukan pendekatan pada tokoh masyarakat atau tokoh adat," katanya.

Namun Rizal mengingatkan pula bahwa tambang rakyat berbeda dengan peti. Tambang rakyat memiliki izin resmi atau yang disebut izin pertambangan rakyat (IPR). Izin wilayahnya tidak tumpang tindih, tidak boleh memakai alat berat dan maksimal kedalaman penggalian hanya 25 meter.

Sementara Peti atau tambang ilegal jelas tidak berizin dan berlawanan dengan praktik pertambangan yang baik (good mining practice). Kegiatan eksplorasi, konservasi, keselamatan kerja dan lingkungan juga tidak dijalankan di tambang ilegal, ujar Rizal Kasli.

Sementara Komisaris Polisi Eko Susanda, Penyidik Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Bareskrim Polri, menambahkan polisi tidak bisa memberantas sendirian praktik tambang ilegal. Diperlukan sinergi yang berkesinambungan antarinstansi. Pemda harus terlibat untuk menyadarkan tokoh masyarakat, sehingga polisi tidak berbenturan dengan warga.

Eko Susanda mengatakan praktik tambang ilegal sulit diberantas karena melibatkan sumber pendapatan warga. "Semua pihak harus memikirkan sumber penghasilan warga yang setara dengan upah mereka menambang. Masalah kronis tidak bisa diselesaikan dengan jangka pendek," kata Eko.

Kendala lainnya, kata dia, sumber daya manusia Polri terbatas. Sementara ruang lingkup pekerjaan sangat luas. "Ini menjadi problem, tapi kita tetap berusaha," kata Eko Susanda.

Sepanjang 2017 kepolisian telah melakukan penyilidikan pada 240 perkara tambang ilegal. Sementara pada 2016 ada 251 perkara, 2015 sebanyak 173 perkara, 2015 sebanyak 173 perkara, 2014 sebanyak 317 perkara, dan 2013 melakukan penyilidikan pada 413 perkara.

Kasi Perlindungan Lingkungan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Tiyas Nurcahyani mengatakan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) bersama penyidik Bareskrim selama terus bekerja sama dalam upaya memberantas praktik tambang ilegal.

"Peran PPNS di sini ditekankan pada pengumpulan data," kata Tiyas Nurcahyani.

Sementara Kepala Bidang Infrastruktur Mineral dan Batu Bara Kementerian Koordinator Kemaritiman Jhon Hasudungan Tambun mengatakan pihaknya melakukan supervisi program pada kementerian terkait untuk melakukan penertiban praktik tambang ilegal.

Namun di sisi lain Kementerian Koordinator Kemaritiman juga mendorong kementerian terkait untuk mengedepankan aspek pembinaan bagi para penambang agar melakukan praktik penambangan yang benar dan tidak merusak lingkungan.

 

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019