Kami akan ada mandat untuk menunjuk mereka sebagai pemungut, penyetor dan pelapor PPN
Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Pajak (DJP)  Kementerian Keuangan mengungkapkan estimasi total konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari luar negeri melalui wadah digital di Indonesia mencapai Rp93 triliun pada tahun 2018.

"Sekarang sangat sulit mengenakan pajak misalnya ada konsumsi jasa, yang menyediakan jasa berasal dari luar negeri, tidak ada di sini sama sekali. Sekarang (memungut pajak) dimungkinkan," kata Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Pengamat: barang impor konsumsi harus jadi prioritas pungutan pajak

Apalagi, lanjut dia, berdasarkan studi dari Temasek dan Google, tahun 2025 konsumsi jasa dan barang tak berwujud di Indonesia diperkirakan melonjak mencapai Rp277 triliun dengan potensi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mencapai Rp27 triliun.

Dengan adanya revisi undang-undang salah satunya UU tentang PPN, ujar dia, maka negara akan mendapatkan pemasukan yang besar khususnya yang dikontribusikan dari konsumsi jasa digital.

Melalui Rancangan Undang Undang (RUU) itu, pemerintah bisa menunjuk subyek pajak luar negeri baik itu pedagang, penyedia jasa atau platform luar negeri untuk menyetor pajak.

"Kami akan ada mandat untuk menunjuk mereka sebagai pemungut, penyetor dan pelapor PPN," imbuhnya.

Baca juga: Bappenas: Orientasi produk ekspor sektor jasa dapat tiru Korea Selatan

Robert tidak membeberkan perusahaan digital yang menyediakan jasa dan barang tak berwujud tersebut yang lama bermain di dalam negeri.

Namun, Ia memastikan perusahaan digital itu merupakan pemain besar dengan jangkauan pasar di seluruh dunia termasuk Indonesia, namun mereka tidak memiliki perwakilan atau agen di Tanah Air.

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengajukan tiga RUU terkait perpajakan dan fasilitas perpajakan untuk mendorong penguatan perekonomian.

Tiga RUU itu yakni revisi dari UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU PPN.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan ketentuan baru itu diharapkan dapat mengantisipasi fenomena perusahaan digital.

Perusahaan digital itu selama ini belum menyetorkan kewajiban perpajakan seperti PPh dan PPN secara tepat kepada negara tempat beroperasi secara ekonomi dengan mengatur mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT).

"Dalam RUU ini seperti fenomena digital across border, maka badan usaha tidak lagi didasarkan kehadiran fisik. Jadi walau tidak punya kantor cabang di Indonesia, tetap punya kewajiban pajak, karena mempunyai kehadiran ekonomi yang sangat signifikan," ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Baca juga: OJK: Regulasi Inovasi Keuangan Digital bersifat adaptif, ikuti pasar
 

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2019