Sekarang dari tembakau juga mulai dikembangkan,
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) mengajak pemerintah memperhatikan pengembangan teknologi tembakau agar menghasilkan produk alternatif.

Hal ini perlu guna mengatasi masalah rokok di Indonesia melalui pendekatan pengurangan risiko atau 'harm reduction' dengan penggunaan produk tembakau alternatif, kata Ketua Lakpesdam PBNU, Rumadi, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Dia menjelaskan saat ini pemerintah belum memberikan ruang alternatif untuk melakukan pengembangan teknologi di industri tembakau yang memungkinkan terjadinya pengurangan risiko merokok.

Baca juga: Masih banyak kasus pengemasan rokok ilegal rumahan

Padahal,tambah dia jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Korea, pendekatan "harm reduction" sudah mulai disosialisasikan kepada pemangku kepentingan sehingga semua pihak mendapatkan pemahaman yang holistik.

Rumadi mengemukakan salah satu langkah konkrit Korea adalah dengan diadakan Asia Harm Reduction Forum (AHRF) ketiga yang dilakukan di Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu.

Forum tersebut, ujar dia menjembatani para pemimpin untuk berbagi pandangan dan pengalaman tentang masalah pengurangan bahaya bagi kesehatan.

"Sekarang dari tembakau juga mulai dikembangkan, ada paradigma 'harm reduction', ada produk-produk yang risikonya lebih kecil, ada rokok yang tidak dibakar tapi dipanaskan, yang saya lihat pemerintah belum memberikan ruang untuk mendiskusikan hal-hal seperti itu," jelasnya.

Rumadi mengatakan jika pemerintah serius dalam mengurangi risiko merokok, seharusnya industri tembakau yang memiliki inisiatif pendekatan pengurangan risiko mendapatkan peluang untuk didorong.

Sayangnya, lanjut dia saat ini pemerintah masih menggunakan paradigma kesehatan ketimbang dari sisi inovasi dan teknologi.

Baca juga: Pengamat: Sigaret kretek mesin harus kena kenaikan cukai rokok

"Saya lihat ada 'lack of capacity' antara industri tembakau dengan pengambil kebijakan terutama yang berkaitan dengan kesehatan," tambahnya.

Pendekatan "harm reduction", menurut dia salah satu yang bisa ditempuh dan harus menjadi paradigma baru dalam melihat industri tembakau di tengah gencarnya kampanye antitembakau.

Apalagi, lanjut dia Industri Hasil Tembakau (IHT) saat ini sedang menghadapi tekanan dari pegiat kesehatan.

"Kalau mau mencari keseimbangan, kita tidak mungkin mematikan industri rokok. Dengan kondisi Indonesia sekarang, risikonya terlalu besar. Tetapi mengabaikan aspek kesehatan soal tembakau saya rasa juga tidak adil, maka memang harus dicari keseimbangan," terang dia.

Dia mengemukakan dengan potensi yang dimiliki produk tembakau alternatif dalam menekan jumlah perokok, pemerintah segera mendorong regulasi baru.

Saat ini, tambanya aturan yang mengatur produk tembakau alternatif baru berupa pengenaan tarif cukai 57 persen.

"Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) berpotensi memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah, nah ini yang harus dijadikan fokus oleh pemerintah. Kalau bias iklim regulasi seperti cukai seharusnya juga bisa lebih rendah," jelasnya.

Baca juga: Pengusaha rokok kecil di Kudus terima kenaikan tarif cukai rokok

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2019