Oleh Hasan Zainuddin Banjarmasin (ANTARA News) - Dentuman meriam bambu yang membahana selama bulanRamadhan kini hampir tidak terdengar lagi di Kalimantan Selatan (Kalsel). Bahkan, perang-perangan dentuman meriam bambu oleh kawula muda yang dulu mewarnai Ramadhan di Kalsel juga mulai ditinggalkan. Namun, suara bising tidaklah hilang sama sekali karena dentuman meriam bambu kini berganti dengan dentuman bunyi mercon yang bersahut-sahutan yang dibarengi kerlap-kerlib kembang api di udara, khususnya di kota-kota besar seperti Banjarmasin, Ibukota Provinsi Kalsel. Udin (10 tahun), warga Banjarmasin, mengakui lebih senang bermain mercon ketimbang harus bermain meriam bambu. Masalahnya, menurut dia, bermain mercon tinggal minta uang kepada orang tua lalu membeli mercon yang banyak dijual secara menjamur di pinggir jalan, tinggal sulut, maka berbunyilah "dar... der... dor...", dan hal serupa juga untuk menyalakan gemerlap kembang api. Sementara itu, ia mengatakan, kalau main meriam bambu lebih repot karena harus mennyiapkan sendiri peralatannya, seperti bambu dan karbit atau minyak tanah sebagai bahan bakar. Selain itu, proses pembuatan meriam bambu terbilang sulit, dan kalau tidak pandai merakitnya, maka meriam bambu itu pun tidak akan berbunyi. Apalagi, bahan bambu di wilayah Kota Banjarmasin nyaris tak pernah ada lagi, kecuali harus membeli di penjual bambu, maka pembuatannya cukup merepotkan, kata Udin. Ketimbang bersusah payah maka lebih baik, beli mercon atau kembang api tinggal kumpulkan teman-teman sulut bersama-sama baik di halaman rumah atau pinggir jalan maka kegembiraan sudah bisa dirasakan, kata Udin. Kebiasaan memainkan meriam bambu sudah menghilang sejak beberapa dasawarsa ini, bukan saja di kota besar seperti Banjarmasin, tetapi juga di kota-kota kecil lainnya. Meskipun demikian sesekali masih ada terdengar dentuman meriam bambu di beberapa desa di kawasan Banua Enam (enam kabupaten Utara Kalsel). Memainkan meriam bambu saat bulan Ramadhan pernah dikenal pada masa lalu, tetapi belakangan mulai ditinggalkan oleh masyarakat setelah ada larangan dari aparat pemerintah terhadap permainan yang dinilai bisa membahayakan tersebut. Tetapi, kemungkinan pula hilangnya permainan meriam bambu terjadi karena bahan bambu semakin sulit diperoleh di hutan, setelah banyak hutan kini terus digunduli untuk ditebang kayunya yang menurunkan populasi bambu. Permainan meriam bambu semakin sulit karena untuk memainkannya juga memakai minyak tanah sebagai bahan dasar menyulut api dan minyak tanah juga kian langka atau mahal harganya. "Ketimbang main meriam bambu uang untuk beli minyak tanah lebih baik dibelikan beras saja," demikian ungkapan seorang pemuda di Banjarmasin. Hilangnya permainan meriam bambu itu menimbulkan kerinduan pada generasi yang pernah memainkannya, karena dentumannya yang terdengar hanya pada saat Ramadhan dinilai sebagai penyemarak datangnya bulan suci tersebut. "Dulu kalau dengar bunyi dar...dir... door meriam bambu bersahut-sahutan, hati ini rasanya senang sekali, dan merasakan bahwa saat-saat datangnya bulan Ramadhan," kata seorang penduduk di Bilangan Kabupaten Balangan, Kalsel. Karena merasa senang, maka hampir semua anak yang tumbuh dapa tahun 1960-an hingga tahun 1980-an itu memiliki meriam bambu sendiri, sehingga suasana kampung benar-benar riuh rendah oleh bunyi dentuman secara bersahut-sahutan, katanya. Kebiasaan menyulut meriam bambu ini dilakukan saat usai buka puasa dan jeda sebentar saat jemaah banyak shalat tarawih, kemudian dilanjutkan seusai tarawih hingga tengah malam, lalu jeda lagi kemudian dibunyikan lagi saat membangunkan warga makan sahur. Berdasarkan ketarangan warga di Desa Maradap, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan membunyikan meriam bambu tersebut kian menjadi-jadi saat saat menjelang lebaran, bahkan saat-saat seperti itu biasanya dilakukan lomba atau perang-perangan meriam bambu. Bahkan, di kalangan mereka untuk memenangi suatu kelompok perang-perangan, meriam bambu dirasa tidak cukup maka ditambah lagi dengan meriam karbit. Dalam lomba perang-perangan antar kelompok yang satu berasal dari kampung yang satu dengan kelompok dari kampung yang lain. Biasanya lokasi perang-perang ini dibatasi oleh sungai atau jembatan, maka setiap moncong meriam bambu atau meriam karbit diarahkan ke kampung seberang. Saat lomba perang-perangan ini banyak warga kampung yang bersedia menjadi donatur pembelian minyak tanah atau bahan karbit, karena keinginan agar kampung mereka bisa dinyatakan lebih unggul ketimbang kampung yang lain. Hanya saja dalam arena perang-perang meriam buatan rakyat ini tak pernah memunculkan perselisihan atau konflik fisik antar kampung, kecuali hanya memunculkan sorak sorai kegirangan dibarengi gelak tawa karena tak sedikit pemain yang menyulut meriam bambu itu yang alis, bulu hidung, bahkan rambut bagian atas hangus terbakar terkena sambaran api saat membunyikan meriam bambu tersebut. Meriam bambu dibuat dari buluh bambu yang besar dan tebal, yang dilubangi penyekat ruasnya seperti biasa dipakai buat saluran air yaitu dengan diameter kira-kira 10 cm, tebalnya sekitar 1 cm. Membuat meriam bambu cukup gampang, yaitu pertama menghilangkan ruas-ruas bambu dengan cara menyodoknya memakai kayu atau besi, sehingga tabung bambu menyerupai pipa besar. Tapi, satu sekat di salah satu ujung bambu dibiarkan utuh, dan di dekatnya dibuat lubang dengan diameter sekitar 2 cm. Ada tiga fungsi lubang tadi, yaitu sebagai lubang tiup untuk memasukkan minyak tanah, mencelupkan api yang membakar kain di ujung sebuah tongkat kecil, dan tempat untuk meniup api yang membakar minyak tanah di dalam tabung bambu. Gas hasil pembakaran yang tersekap di dalam tabung bambu otomatis akan mencari jalan keluar. Pemain akan memberikan tekanan udara dengan meniup udara yang terus-menerus dan gas hasil pembakaran itu akan bergerak ke arah ujung bambu yang bolong. Maka meletuslah suara "tum tam dor" yang terdengar menggelegar. Setiap dentuman biasanya disambut sorak sorai para pemainnya. Untuk memainkan meriam bambu harus memiliki keahlian, sehingga para pemain mampu menciptakan suara dentuman yang menggelegar, dan terhindar dari "kebakaran lokal" yang mungkin terjadi. "Jika kurang terampil, salah-salah alis mata hangus atau rambut bagian depan gosong." kata seorang pria yang dulu gemar memainkan meriam bambu. Kecelakaan sering terjadi karena pemain kurang ahli sehingga gas hasil pembakaran yang sudah ditiup ke arah lubang di ujung keluar, malah berbalik ke arah lubang tiup, dan menyemburkan api serta gas yang sangat panas ke arah muka pemain. Sementara meriam karbit, bukanlah meriam yang terbuat dari besi atau yang seperti dilihat untuk peperangan, tapi hanya meriam yang terbuat dari bambu besar, atau yang disebut bambu batung, atau batang pepaya yang dikat. Untuk menghasilkan suara yang lebih menggelar bisa dibuat dari batang kayu besar yang berdiameter sekitar 50 cm - 100 cm dan panjang antara 4 - 7 meter, yang dilubangi ditengahnya. Batang tersebut diisi dengan air dan dimasukkanlah bahan karbit sebagai mesiunya. Karbit yang bereaksi dengan air akan menghasilkan gas yang jika disulut dengan api akan mengakibatkan ledakan. Untuk satu kali permainan paling tidak dibutuhkan sekitar 3-5 ons karbit. Suara ledakkannya dapat menggoyangkan bangunan sekitar, bahkan memecahkan kaca-kaca rumah jika jarak antara meriam dengan rumah terlalu dekat. Itu sebabnya permainan ini dianggap membahayakan, dan sekarang dilarang, katanya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008