"Apakah saya lebih cenderung ke nonyudisial. Enggak ada kecenderungan saya," kata Mahfud MD, saat "Ngobrol Santai Bareng Media", di Jakarta, Kamis.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan tidak ada kecenderungannya agar dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) diselesaikan melalui jalur nonyudisial.

"Apakah saya lebih cenderung ke nonyudisial. Enggak ada kecenderungan saya," kata Mahfud MD, saat "Ngobrol Santai Bareng Media", di Jakarta, Kamis.

Ia menyebutkan ada 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang harus diselesaikan yang nantinya akan dipilah sesuai kriteria yang ditentukan untuk diselesaikan lewat jalur pengadilan (yudisial) atau nonyudisial.
Baca juga: Mahfud, Jaksa Agung, Komnas HAM bahas kasus pelanggaran HAM berat

Kriteria-kriteria dugaan pelanggaran HAM bisa diselesaikan lewat jalur yudisial atau nonyudisial, kata Mahfud, nantinya akan diatur dalam Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

"Nanti akan ada kriteria, yang begini-begini ke yudisial, yang begini nggak bisa, ke nonyudisial. Yang mana. Nanti, kita buat UU-nya dulu, kriterianya," katanya pula.

Jadi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu kembali menegaskan tidak ada kecenderungannya untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM di luar pengadilan.

"Kecenderungan saya hanya ingin berakhir. Yang bisa yudisial, masuk. Yang tidak bisa, tutup. Kalau ditutup terus apa syaratnya. 'Follow up'-nya. Begitu aja," ujarnya pula.

Langkah penyelesaian dugaan pelanggaran HAM itu sesuai dengan amanat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk segera dituntaskan agar tidak jadi komoditas politik yang berulang.

"Nanti ada pilkada rame lagi, di-'up', ada ini rame lagi. Apalagi, pilpres. Itu semua bicara HAM yang tidak selesai," katanya lagi.

Karena itu, Mahfud bertekad menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat agar tuntas sesuai dengan skema yang ditentukan, baik jalur yudisial maupun nonyudisial.

"Kita bicara dengan Jaksa Agung, Komnas HAM, dengan LSM sudah, dengan korban-korban sudah. Sudah ada komunikasi," katanya pula.
Baca juga: Jokowi minta Menko Polhukam kawal penyelesaian kasus pelanggaran HAM

Sebanyak 12 kasus yang masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu, yakni peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999, dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Kemudian, penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003, peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003, peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998, peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989, serta peristiwa dukun santet di Jawa Timur 1998-1999.

Dari 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat itu, delapan kasus terjadi sebelum terbit UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan empat kasus terjadi sebelum terbit UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena, dan Jambo Keupok Aceh.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019