jika korupsi dilakukan dalam situasi bencana, terancam hukuman mati.
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (29/5), resmi meluncurkan fitur "JAGA Bansos" yang dapat digunakan masyarakat untuk melaporkan dugaan penyimpangan atau penyalahgunaan bantuan sosial dalam penanganan pandemi COVID-19.

KPK menambahkan fitur "JAGA Bansos" tersebut dalam platform pencegahan korupsi JAGA. Aplikasi JAGA (JAGA Apps) bisa diunduh melalui gawai dengan sistem operasi Android ataupun iOs. Selain melalui gawai, masyarakat juga bisa mengakses JAGA melalui situs https://jaga.id.

Ketua KPK Firli Bahuri dalam peluncuran fitur tersebut mengatakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti setiap laporan masyarakat melalui aplikasi tersebut.

Keluhan atau laporan yang masuk ke "JAGA Bansos" akan diterima KPK, kemudian diteruskan kepada pemerintah daerah (pemda) terkait.

Baca juga: KPK imbau pemda evaluasi kriteria penerima bansos terkait COVID-19

Selanjutnya, KPK meneruskan informasi dari masyarakat melalui unit koordinasi wilayah (korwil) pencegahan. KPK akan memonitor tindak lanjut penyelesaian laporan dan keluhan masyarakat tersebut.

"Setelah kita buka aplikasi JAGA Bansos, yang mengawal di KPK ada, kami ada piketnya dan setiap pelaporan ini kami langsung tindak lanjuti. Misalnya, ada di Jawa Barat maka kami akan hubungi Provinsi Jawa Barat ada gubernur, ada inspektorat, ada kepala perwakilan BPKP. Jika ada pelaporan di tingkat kabupaten/kota maka kami segera menghubungi bupati/wali kota," kata Firli.

Firli pun mengharapkan masyarakat bisa percaya untuk memberikan informasi melalui fitur "JAGA Bansos" ini karena bisa menjadi saluran bagi masyarakat untuk berperan aktif mengawal pengalokasian bansos dan mencegah potensi terjadinya korupsi.

Penambahan fitur "JAGA Bansos" adalah upaya tambahan dalam melakukan langkah-langka antisipatif pencegahan korupsi. Sebelumnya, KPK telah memitigasi titik-titik rawan korupsi dalam penanggulangan pandemi COVID-19.

Baca juga: KPK ajak masyarakat kawal bansos COVID-19 melalui "Jaga Bansos"

KPK mengidentifikasi yang menjadi salah satu titik rawan adalah terkait dengan penyelenggaraan bantuan sosial sebagai bagian dari jaring pengaman sosial (JPS). Pemerintah pusat dan daerah telah melakukan realokasi anggaran dalam jumlah yang sangat signifikan untuk JPS.

Di tingkat pusat dari alokasi anggaran Rp405 triliun, bansos merupakan bagian dari komponen JPS senilai Rp110 triliun, sedangkan dari realokasi anggaran pemerintah daerah sebesar Rp67,32 triliun, tercatat Rp25 triliun akan diberikan dalam bentuk bansos kepada masyarakat.

Alokasi bansos lainnya bersumber dari dana desa yang mengalokasikan secara berjenjang, yaitu 25 persen sampai 35 persen dari besaran dana desa atau senilai Rp21 triliun.

Selama ini, pemerintah pusat telah memberikan bansos regular berupa Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Dengan adanya pandemi, cakupan penerima bantuan diperluas dan besaran bantuan diperbesar. Di samping itu, juga diperkenalkan bantuan baru, yaitu bansos sembako dan tunai untuk wilayah Jakarta, Bodetabek, dan luar Jabodetabek.

Baca juga: KPK terima 118 laporan masyarakat terkait penyaluran bansos

Di tingkat daerah pemberian bansos juga dilakukan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari realokasi APBD. Maka, saat ini setidaknya ada tujuh jenis bantuan yang ditujukan untuk masyarakat yang miskin dan rentan menjadi miskin karena pandemi.

Dalam pelaksanaannya, KPK menemukan penyaluran tujuh jenis bansos ini menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat di sejumlah daerah. Salah satu persoalan utama adalah data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang belum diperbaharui oleh pemda.

Selain itu, KPK menemukan pemahaman yang keliru tentang penerima manfaat bansos sehingga KPK memandang penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang jenis bansos, kriteria penerima bantuan, dan masyarakat tidak menerima semua jenis bansos.

Rentannya penyimpangan dalam penyaluran bansos, mendorong KPK mengambil langkah antisipatif. Salah satunya dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) No 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan DTKS dan Data Non-DTKS dalam Pemberian Bantuan Sosial kepada Masyarakat.

Melalui surat edaran tersebut, KPK mendorong penggunaan sekaligus sebagai kesempatan untuk melakukan pemutakhiran DTKS oleh pemda melalui dinas sosial. Selanjutnya, data tersebut dipadankan dengan nomor induk kependudukan (NIK) sehingga data by name by address penerima bantuan diyakini tidak fiktif ketika ada NIK.

KPK juga meminta kementerian/lembaga/pemda dan instansi lainnya agar transparan dan akuntabel dalam menyalurkan bantuan dengan membuka akses data tentang penerima bantuan, realisasi bantuan dan anggaran yang tersedia, dan juga mengimbau agar menyediakan sarana layanan pengaduan masyarakat.

Baca juga: Hukum kemarin, peluncuran "JAGA Bansos" hingga aktivis KNPB ditangkap

Ratusan Keluhan

Sejak meluncurkan fitur "JAGA Bansos", KPK telah menerima 303 keluhan terkait dengan penyaluran bansos. Yang paling banyak dikeluhkan masyarakat adalah tidak menerima bansos meskipun telah mendaftar, yaitu berjumlah 134 keluhan.

Atas hal itu, KPK mengimbau pemda untuk transparan dalam mendistribusikan bansos kepada masyarakat dan mengevaluasi kriteria penerima bansos

Plt. Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding menyebutkan kesemrawutan penyaluran bansos karena data penerima bantuan yang masih harus terus pengkinian.

Oleh karena itu, KPK mengimbau pemda transparan dalam mendistribusikan bansos kepada masyarakat dan mengevaluasi kriteria penerima bansos dalam penanganan pandemi COVID-19.

Ia mencontohkan DTKS perlu perluasan dengan melakukan verifikasi dan validasi hingga ke satuan kerja terkecil di tengah masyarakat, yaitu RT/RW sehingga pemda perlu membuat kriteria masyarakat yang terdampak sebagai penerima bantuan.

Di beberapa daerah, ditemukan pula kriteria yang dibuat terlalu luas. Ketika pemadanan dengan DTKS dan nomor induk kependudukan (NIK), masyarakat yang tidak memenuhi kriteria masuk ke dalam daftar.

KPK juga mendorong transparansi dalam penyaluran bansos dengan mengumumkan daftar nama penerima bantuan.

Pemda perlu menyosialisasikan dan membangun pemahaman kepada masyarakat terkait dengan kriteria penerima bantuan, jenis bansos, dan waktu distribusi untuk setiap bantuan.

Baca juga: KPK harapkan masyarakat aktif kawal bantuan melalui "JAGA Bansos"

Selain keluhan tidak menerima bantuan, KPK juga mencatat ada enam topik keluhan lainnya, yaitu bantuan dana jumlahnya kurang dari yang seharusnya sebanyak 32 laporan.

Selanjutnya, bantuan tidak dibagikan oleh aparat kepada penerima bantuan sebanyak 28 laporan, nama di daftar bantuan tidak ada (penerima fiktif) berjumlah 14 laporan, mendapatkan bantuan lebih dari satu berjumlah empat laporan, bantuan yang diterima kualitasnya buruk tiga laporan, seharusnya tidak menerima bantuan tetapi menerima bantuan dua laporan, dan beragam topik lainnya total 86 laporan.

Adapun keluhan tersebut ditujukan pada 130 pemda yang terdiri atas sembilan pemerintah provinsi dan 121 pemerintah kabupaten/kota di 27 provinsi dan dua kementerian serta satu komunitas masyarakat.

Provinsi yang paling banyak menerima keluhan adalah Jawa Barat dengan total 74 keluhan meliputi 20 pemda. Berikutnya, Jawa Timur dengan total 48 keluhan di 15 pemda dan Jawa Tengah menerima 32 keluhan di 20 pemda.

Instansi yang paling banyak menerima keluhan adalah Pemkot Surabaya sebanyak 10 keluhan, Pemkab Indramayu sembilan keluhan, Pemkab Lampung Selatan delapan keluhan, serta Pemkab Sukabumi dan Pemprov Jawa Timur masing-masing tujuh keluhan.

Baca juga: KPK luncurkan aplikasi "JAGA Bansos" cegah penyimpangan

Kerja Keras

Selain itu, Firli juga menyatakan bahwa lembaganya telah bekerja keras untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi terkait dengan penggunaan dana untuk penanganan COVID-19.

KPK telah berkoordinasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan kementerian/lembaga.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK bertugas antara lain melakukan tindakan-tindakan pencegahan, koordinasi, dan monitoring sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi.

Diketahui bahwa Presiden Joko Widodo juga telah mempersilakan aparat penegak hukum, yaitu Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, maupun KPK untuk "menggigit" pejabat maupun para pelaksana yang memiliki niat korupsi dalam penggunaan dana Rp677,2 triliun untuk penanganan COVID-19.

KPK akan sangat tegas jika ada tindak pidana korupsi terkait dengan penanganan COVID-19 yang menimbulkan kerugian negara atau keuangan negara.

"Apalagi, jika korupsi dilakukan dalam situasi bencana, itu termasuk kejahatan berat dan ancamannya hukuman mati," ucap Firli.

Baca juga: Jaga silaturahmi di masa pandemi, Kemensos gelar halalbihalal virtual

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI pada bulan April 2020, KPK juga telah menyampaikan sejumlah aspek tentang apa yang telah dilakukan untuk mencegah korupsi dalam penanganan COVID-19.

Pertama, KPK telah membentuk tim pada kedeputian pencegahan untuk mendampingi gugus tugas di tingkat nasional maupun daerah serta pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

Kedua, KPK telah menerbitkan Surat Edaran No. 2 Tahun 2020 tanggal 2 April 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Ketiga, KPK melakukan koordinasi dan monitor atas penggunaan anggaran terkait dengan pengadaan barang dan jasa dengan melibatkan LKPP untuk pendampingan dan BPKP untuk melakukan pengawasan pengadaan barang dan jasa.

Keempat, KPK melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait dengan besaran alokasi anggaran penanganan COVID-19.

Selanjutnya, ditindaklanjuti dengan melakukan pendampingan kepada pemda oleh Koordinasi Wilayah (Korwil) Pencegahan KPK di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota bersama-sama BPKP dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP).

Kelima, KPK telah membuat pedoman terkait dengan pemberian dan penerimaan sumbangan, baik berupa uang/barang yang dikategorikan bukan gratifikasi melalui surat KPK Nomor. B/1939/GAH.00/01-10/04/2020.

Keenam, KPK berkoordinasi dengan Kementerian Sosial untuk mengoptimalisasi penggunaan DTKS yang berbasis NIK agar penyaluran bantuan sosial tepat guna dan tepat sasaran.

KPK juga telah menerbitkan Surat Edaran No. 11 Tahun 2020 tentang penggunaan DTKS dan Data Non-DTKS dalam Pemberian Bantuan Sosial kepada Masyarakat.

Ketujuh, KPK terus memonitor setiap perkembangan penanganan COVID-19 dengan melakukan pengawasan anggaran yang dialokasikan pemda untuk penanganan COVID-19. Hasil pengumpulan data yang dilakukan KPK bahwa akumulasi anggaran yang terkumpul dari seluruh pemda mencapai Rp56,57 triliun.

Kedelapan, demikian juga terhadap realokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada APBN 2020 senilai total Rp405,1 triliun. Sebesar Rp110 triliun akan dialokasikan untuk jaring pengaman sosial, Rp75 triliun untuk kesehatan, Rp70 triliun untuk dukungan industri, dan Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi pusat.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020