Perkiraannya sekitar Rp10.000 triliun, namun untuk angka pastinya Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan yang lebih mengetahui pastinya
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni mengatakan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss (Mutual Legal Assistance/MLA RI-Swiss) yang telah disetujui menjadi UU, diperkirakan ada hampir Rp10.000 triliun pajak yang ditarik dari dana WNI di Swiss.

"Perkiraannya sekitar Rp10.000 triliun, namun untuk angka pastinya Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan yang lebih mengetahui pastinya," kata Sahroni usai Rapat Paripurna DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Dia mengatakan dengan UU tersebut, uang yang seharusnya bisa dimanfaatkan negara bisa kembali ke Indonesia, namun masih perlu waktu dan proses hingga RUU ini bisa diterapkan.

Sahroni berharap dengan UU ini dasar kekuatan untuk mendapatkan informasi valid pajak dengan mudahnya mengakses data informasi dari orang Indonesia yang taruh uangnya di sana.

"RUU MLA Indonesia-Swiss yang telah disetujui ini bagus sekali karena sejak 2014 Indonesia dengan Swiss bersama-sama ingin melakukan sesuatu denga hukum timbal balik, namun terkendal dengan aturan kedua negara. Setelah berproses lama, akhirnya diputuskan dalam Panitia Khusus (Pansus) lalu dibawa ke Rapat Paripurna DPR pada hari ini," ujarnya.

Sahroni yang merupakan Ketua Pansus RUU MLA RI-Swiss DPR RI itu mengatakan UU MLA tersebut kepentingannya untuk ke depan bangsa Indonesia karena ada "uang lebih" di Swiss milik WNI yang tidak dilaporkan mereka dengan pajaknya di Indonesia sehingga ada baiknya karena cinta tanah air dikembalikan untuk bangsa dan negara.

Baca juga: DPR setujui RUU MLA Indonesia-Swiss jadi UU

Dia mengatakan RUU yang telah disetujui menjadi UU itu terdiri dari 39 pasal antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, membantu menghadirkan saksi, meminta dokumen, rekaman dan bukti, penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengembalian aset, penyediaan informasi yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, mencari keberadaan seseorang dan asetnya, mencari lokasi dan data diri seseorang serta asetnya.

“Termasuk memeriksa situs internet yang berkaitan dengan orang tersebut, serta menyediakan bantuan lain sesuai perjanjian yang tidak berlawanan dengan hukum di negara yang diminta bantuan," ujarnya.

Sahroni menjelaskan, perjanjian menganut prinsip retroaktif dalam Pasal 1 ayat 2, artinya pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara RI dan Swiss dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.

Perjanjian itu menurut dia juga ditujukan untuk pemberantasan korupsi serta membawa hasil tindak pidana korupsi yang disimpan di luar negeri.

“Tidak terbatas masalah korupsi, MLA juga dapat digunakan dalam memberantas kejahatan perpajakan agar dapat memastikan tidak adanya warga negara atau badan hukum Indonesia yang melakukan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya," katanya.

Dia menjelaskan Pasal 8 RUU tersebut mengatur mengenai batas kerahasiaan data informasi, dokumen dan barang yang menjadi bagian dari pelaksanaan kerjasama timbal balik dalam masalah pidana.

Pengaturan itu menurut dia, merupakan salah satu materi penting yang diajukan oleh Konfederasi Swiss sebagai syarat dalam kesepakatan perjanjian ini juga menyederhanakan prosedur bantuan hukum timbal balik, khususnya dengan mengurangi persyaratan formal.

Sahroni menilai Pemerintah perlu memperbaharui perkembangan dari praktik pencucian uang yang dilakukan para pelaku di Indonesia yang kemungkinan besar menjadikan Swiss bukan lagi menjadi tempat untuk menempatkan aset, rekening atau uang dan sudah beralih ke negara lain.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020