Jakarta (ANTARA) - Maraknya peredaran narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan negara tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para terpidana bandar obat-obatan terlarang yang mendekam di dalamnya.

Vonis hukuman badan yang menjerat nampaknya tidak juga membuat jera sebagian dari mereka untuk terus menjalani bisnis haram dari balik jeruji penjara.
Padahal pemerintah Indonesia telah memberlakukan ancaman hukuman yang berat bagi para pengedar narkoba.

Dalam UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika, disebutkan pengedar narkoba dapat dikenakan sanksi pidana penjara antara dua sampai 20 tahun, bahkan sampai pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup, tergantung dari jenis dan banyaknya narkotika yang diedarkan, disalurkan atau diperjual-belikan.

Baca juga: Narkoba di Lapas Mataram libatkan narapidana dan sipir

Baru-baru ini, mantan terpidana kasus makar, Surya Anta Ginting, membeberkan informasi adanya dugaan praktik perdagangan narkotika di dalam Rumah Tahanan Negara Salemba, Jakarta Pusat.

Melalui cuitan di akun twitternya (@suryaanta), pada Minggu (12/7), dia mengaku pernah ditawari narkoba oleh sejumlah narapidana, saat menjalani vonis sembilan bulan di rumah tahanan negara itu.

"Dari lantai dua para napi mengiklankan barang dagangan mereka pada tahanan baru, sambil teriak: Sabu... sabu... sabu. Siapa yang mau sabu buat malam minggu...," kata Surya, yang juga mengungkap bahwa terdapat satu sel yang menjadi "apotek" atau tempat penjualan sabu-sabu.

Baca juga: Diduga selundupkan sabu, pegawai Lapas Perempuan di Bali tertangkap

Dua bulan sebelumnya, tepatnya Kamis (28/5), Badan Narkotika Nasional (BNN) menggagalkan penyelundupan 66 kilogram sabu-sabu dan 160.000 pil ekstasi dari satu gudang di Jalan Industri Raya, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.

Dari hasil penyelidikan BNN, diketahui salah seorang pelaku yang menjadi pengendali bisnis barang haram tersebut merupakan seorang narapidana yang sudah mendekam hampir tiga tahun di Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta Pusat.

Baca juga: Yasonna Laoly: Permasalahan utama di lapas adalah narkoba

Kritik untuk Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM
Atas peristiwa tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM pun menjadi sasaran kritikan, salah satunya dari BNN. Direktorat jenderal inilah yang bertanggung jawab atas tata laksana-operasionalisasi lembaga pemasyarakatan, hingga pembinaan internal para personel pengawaknya. 

Deputi Pemberantasan BNN, Arman Depari, mengatakan, terungkapnya kasus pengendalian bisnis narkoba dari balik lapas menunjukkan lemahnya pengawasan oleh jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM di lapangan.

Meski BNN sudah melakukan berbagai upaya, kata dia, namun pencegahan tidak juga dilakukan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.

Baca juga: Dua pengedar sabu di Kebon Jeruk dikendalikan dari lapas

"Kami sudah laporkan nama-nama para pengendali untuk diawasi, namun tetap saja mereka masih bebas menjalankan bisnisnya," ujar dia, dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (29/5).

Menurut Depari, pihak pengelola lembaga pemasyarakatan harus lebih berperan dalam menekan peredaran narkoba di dalam LP maupun rutan.

Peran dari petugas lapas untuk tidak terlibat dengan para bandar merupakan tantangan agar Indonesia bersih dari narkoba. "Sebab narapidana narkoba masih bisa beroperasi dikarenakan adanya bantuan dari oknum petugas lapas," ujar dia.

Baca juga: BNN Kabupaten Sleman terus berupaya stop peredaran narkoba di lapas

Di tengah maraknya kejadian itu, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM mengaku tidak tinggal diam. Mereka telah menyiapkan sejumlah strategi konkret dalam upaya menanggulangi permasalahan narkoba di LP maupun rumah tahanan.

Salah satunya, dengan memindahkan para narapidana bandar narkoba ke sejumlah lapas di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang menerapkan sistem pengamanan super maksimum.

Dalam satu setengah bulan terakhir, tepatnya sejak 5 Juni hingga 18 Juli 2020, sebanyak 228 narapidana bandar narkoba yang berasal dari wilayah Jakarta, Yogyakarta, dan Jawa Barat, telah dipindah ke tiga LP berkeamanan super maksimum, yakni LP Batu, LP Karanganyar, dan LP Narkotika, Nusakambangan.

Baca juga: Narkoba pemicu kericuhan di Lapas Langkat

Proses pemindahan para narapidana tersebut terbagi dalam empat tahapan. Tahapan pertama dilakukan pada 5 Juni 2020 lalu. Sebanyak 41 narapidana bandar narkoba dipindah ke Lapas Batu dan Lapas Karanganyar.

Pada tahap kedua dan ketiga, dilakukan pemindahan terhadap 44 orang dan 31 orang narapidana.

Total narapidana dari tiga tahapan pemindahan itu adalah 116 orang, yang merupakan narapidana bandar narkotika dari wilayah DKI Jakarta. Adapun dari wilayah Yogyakarta telah dipindah sebanyak 22 orang narapidana.

Pada Sabtu (18/7), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM melakukan pemindahan narapidana bandar narkoba tahap keempat. Sebanyak 90 orang narapidana dipindahkan ke Lapas Karang Anyar, Lapas Batu, dan Lapas Narkotika, Nusakambangan.

Bandar-bandar narkoba dari wilayah Jawa Barat itu berasal dari LP Kelas 1 Cirebon sebanyak 23 orang, LP Narkotika Kelas 2 Gunung Sindur sebanyak 13 orang, LP Narkotika Kelas 2A Cirebon sebanyak 12 orang, LP Kelas 2A Gunung Sindur sebanyak 5 orang, LP Kelas 2A Banceuy sebanyak 22 orang, dan LP Kelas 2 Karawang sebanyak 15 orang.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Reynhard Silitonga, mengatakan, upaya itu dilakukan untuk memberantas peredaran narkotika yang selama ini masih terus terjadi di LP maupun rumah tahanan negara.

"Ini sebagai wujud dan komitmen tegas kami untuk memberantas narkotika dari bumi Indonesia, khususnya di lapas dan rutan," ujar disela-sela pemindahan puluhan narapidana bandar narkoba ke Pulau Nusakambangan, Sabtu (17/7).

Tak ada toleransi
Komitmen tegas terhadap pemberantasan narkotika di dalam lapas dan rutan disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. "Saya tidak bertoleransi pada peredaran narkoba di dalam rutan maupun lapas," ujar Laoly, yang berlatar kader PDI Perjuangan, di Jakarta, Rabu (15/7).

Ia mengatakan bahwa peredaran obat-obatan terlarang di lapas maupun rutan merupakan persoalan klasik yang terus terjadi dari tahun ke tahun.

Ia pun mengingatkan agar persoalan tersebut dapat segera teratasi supaya permasalahan yang sama tidak terus-menerus berulang. "Jangan kita jadi keledai yang jatuh ke lubang yang sama," kata menteri berusia 67 tahun itu.

Semangat yang sama juga disampaikan Silitonga mengatakan bahwa petugas lapas maupun rutan yang terbukti terlibat peredaran narkoba akan turut dijebloskan ke Lapas Nusakambangan berkeamanan super maksimum.

"Petugas yang terbukti main dan terlibat narkoba, setelah diputus pengadilan langsung dibawa ke Nusakambangan dan ditempatkan di 'one man one cell' Lapas Supermaksimum," ujar dia, di Jakarta, Selasa (14/7).

Komitmen kuat sudah dinyatakan Silitonga dan Laoly. Sejumlah upaya juga sudah dilakukan lembaga tersebut untuk menghentikan peredaran narkoba dari dalam lapas.

Namun, komitmen tersebut harus pula dibarengi dengan integritas kuat para petugas di lapangan untuk tidak terlibat dalam praktek peredaran narkoba. Kejelian dalam pengawasan harus terus ditingkatkan agar tidak ada lagi kasus serupa terulang di kemudian hari.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020