Usaha ikan teri di Hadakewa ini adalah bukti nyata bagaimana pemerintah dan masyarakat desa berhasil memanfaatkan Dana Desa dari APBN..
Kupang (ANTARA) - Klemans Kwaman (35) mengutarakan rasa syukurnya dengan mengemukakan bahwa ikan teri Hakadewa sudah bisa tembus ke pasar di Jakarta setelah melalui perjuangan yang cukup panjang.

Klemans, sang Kepala Desa Hadekewa, Nusa Tenggara Timur, wajar menyatakan rasa bangganya, mengingat pencapaian itu diraih dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki daerahnya.

Bagi yang belum familiar, Hadakewa adalah sebuah desa pesisir di wilayah tengah Pulau Lembata yang berjarak sekitar 13 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.

Desa dengan jumlah penduduk terakhir sebanyak 1.053 jiwa yang bermata pencaharian utama bertani dan melaut itu kini menjadi buah bibir berbagi kalangan karena komoditas unggulannya sedang melejit di pasar, yaitu ikan teri.

Spesies laut dengan nama ilmiah Stolephorus sp ini telah mengangkat nama Hadakewa kian terkenal terutama di pasar komoditas kelautan dan perikanan di Tanah Air.

"Sekarang mulai banyak orang kalau dengar nama Hadakewa, maka yang terlintas di pikiran itu tentang penghasil ikan teri," kata Klemens Kwaman.

Produksi ikan teri sebelumnya merupakan rutinitas yang biasa bagi warga nelayan di Hadakewa, namun perubahan itu terjadi ketika memasuki 2018 lalu.

Ketika itu, ujar dia, komoditas ikan teri mulai diproduksi secara serius dan berkelanjutan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tujuh Maret.
Produk ikan teri dalam kemasan yang dihasilkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tujuh Maret di Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. (Dok. ANTARA Biro NTT)


"Di 2018 itu kami mulai melirik pasar dengan produk teri yang kami buat dalam kemasan berlabel Teri Hadakewa," katanya.

Pada awalnya, kata dia, produk ikan teri yang dipasarkan juga masih sebatas untuk kebutuhan lokal ataupun melayani pemesanan dalam jumlah kecil.

Namun seiring berjalannya waktu, usaha ikan teri Hadakewa kian melejit karena intervensi atau memperoleh alokasi bantuan dari APBN.

Dana Desa

Klemens Kwaman mengakui usaha ikan teri Hadakewa mengalami perubahan drastis berkat dukungan modal dari program Dana Desa yang dihadirkan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Pada tahap awal, pemerintah desa dan masyarakat Hadakewa sepakat untuk menggelontorkan Dana Desa senilai Rp85 juta kepada BUMDes Tujuh Maret untuk memulai usaha ikan teri.

Dana ini digunakan untuk pengadaan sarana pendukung seperti tempat pengeringan, waring, dan juga modal untuk pengadaan bahan baku, serta bahan kemasan.
Penemuran produk ikan teri yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tujuh Maret di Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. (ANTARA/HO-Kepala Desa Hadakewa Klemens Kwaman)


Namun ketika itu, usaha ini belum mampu menghasilkan laba karena produksi digunakan untuk kegiatan promosi sehingga diberikan ke orang secara cuma-cuma atau sebagai oleh-oleh.

Selanjutnya pada 2019, Dana Desa kembali dikucurkan sebesar Rp128 juta untuk pengadaan kapal yang dikelola warga desa dalam rangka memperkuat pasokan bahan baku dari nelayan tangkap.

"Selama ini memang warga kami hanya pekerja di kapal-kapal nelayan pemasok ikan teri yang mayoritas dimiliki orang luar," katanya dan menambahkan, dengan beban biaya pengadaan armada kapal baru sekitar Rp150 juta per unit, tidak cukup hanya mengandalkan Dana Desa.

Namun pada 2019, Hadakewa juga mendapat suntikan dana dari Pemerintah Kabupaten Lembata senilai Rp200 juta karena terpilih sebagai "Desa Tematik", desa yang dinilai cepat bertumbuh secara ekonomi.

Suntikan dana itu kemudian digunakan untuk membagi beban anggaran antara Dana Desa dengan dana bantuan kabupaten ini untuk penyertaan modal ke BUMDes.

Alhasil, telah dibelanjakan sebanyak tiga unit kapal ikan yang saat ini sedang sudah dalam tahap akhir pengerjaan. Targetnya, paling lambat pada September 2020 mendatang kapal-kapal ini sudah beroperasi untuk produksi bahan baku.

Ketiga armada kapal ini akan dioperasikan sendiri oleh warga Hadakewa sendiri. Untuk pengembalian modal, masih menurut Klemans, tidak dalam bentuk uang melainkan dibayar secara cicil dengan pasokan ikan teri.

Baca juga: Presiden: 2021, anggaran transfer ke daerah-dana desa Rp796,3 triliun
Sejumlah nelayan saat berada di sebuah kapal bagan yang digunakan untuk menangkap ikan teri yang dipasok untuk melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tujuh Maret di Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. (ANTARA/HO-Kepala Desa Hadakewa Klemens Kwaman)


Dampak ekonomi 

Bagi Theresia Bota Wulo (49), salah satu warga Hadakewa yang bekerja pada usaha ikan teri ini, usaha yang digeluti ini adalah solusi terbaik saat ini untuk menjawab kesulitan ekonomi keluarganya.

Ibu rumah tangga yang sebelumnya mengais rejeki memenuhi kebutuhan keluarga dengan menjual sayur dan kayu api, kini mulai mengandalkan pendapatan dari usaha ikan teri Hadakewa.

"Sekarang dalam sehari saya bisa bawah pulang uang paling sedikit Rp50.000 sampai lebih dari Rp100.000," katanya.

Esi, sapaan akrab Theresia Bota Wulo, bersama tema-temannya bekerja setiap hari dari Pukul 08.00-16.00 WITA khusus pada bagian penjemuran ikan teri.
Seorang warga sedang bekerja memproduksi ikan teri yang dikelola melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tujuh Maret di Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. (ANTARA/HO-Kepala Desa Hadakewa Klemens Kwaman)


Mereka diupah sesuai kemampuan kerja dengan nilai Rp1.000 untuk satu kilogram ikan teri yang berhasil dijemur.

Esi mengaku puas dan bersyukur pendapatannya bisa membantu perekonomian keluarga yang sebelumnya hanya mengandalkan uang kiriman dari sang suami yang saat ini berada di tanah perantauan.

"Sekarang saya bisa beli beras, minyak goreng, dan lain-lain dari usaha ikan teri ini, bahkan saya bisa sisihkan untuk biaya anak sekolah," kata ibu dari dua anak ini.

Klemens Kwaman mengatakan, semua bagian pekerjaan usaha ikan teri ini diambil alih masyarakat Hadakewa sendiri, mulai dari bagian penjemuran, sortir hingga pengemasan.

Ia menjelaskan, untuk pekerja di bagian sortir, kata dia, digaji berdasarkan tingkat kesulitan pekerjaan mereka dalam menyortir ikan teri yang memiliki tujuh jenis.

"Kalau tingkat kesulitan tinggi karena jenis ikan tercampur banyak. maka satu kali sortir itu mereka dibayar Rp5.000 per kilogram," kata Klemans.

Ia menambahkan, setiap tahapan pekerjaan produksi ikan teri Hadakewa memiliki nilai uang yang menjadi sumber pendapatan bagi warga pekerja yang berjumlah berkisar 20-30 orang.

Menurut dia, semua warga ikut mengambil bagian dalam pekerjaan produksi ikan teri Hakadewi sehingga dampak ekonominya juga benar-benar dirasakan masyarakat.
Baca juga: Mendes: Padat Karya Tunai Desa bantu turunkan kemiskinan di desa

Diminati pasar

Setelah jalan panjang upaya memperkuat produksi dan promosi, kini produk ikan teri Hadakewa telah mendapat tempat di pasar dengan permintaan yang semakin meningkat.

Kata Klemens Kwaman, teri Hadakewa kini memiliki dua pasar utama yakni Jakarta dan Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT.

Di tengah kondisi pandemi COVID-19 saat ini, lanjut dia, permintaan ikan teri Hadakewa bahkan meningkat terutama dari pengusaha di Jakarta.

Mulai Juli 2020 lalu, pengiriman teri Hadakewa dilakukan setiap minggu ke Jakarta. Dalam sekali pengiriman mencapai lebih dari 100 bungkus dengan satu bungkus berisi 250 gram teri seharga Rp25.000.

Menurut dia, teri Hadakewa semakin diminati pasar karena memiliki citra rasa yang khas yakni tidak terlalu asin dan juga tidak tawar.

"Jadi rasa ikan lautnya kentara. Ini yang diakui pengusaha di Jakarta sehingga sebelumnya mengandalkan pasokan teri dari Medan, kini meminati teri Hadakewa," katanya.

Klemens Kwaman mengaku optimistis dengan keunggulan komoditi ikan teri ini maka ke depan permintaan pasar akan semakin meningkat.

Tantangan selanjutnya adalah meningkatkan kemampuan produksi dan mempertahankan kualitas produk, ucapnya.
Proses penjemuran komoditi ikan teri yang dikelola melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tujuh Maret di Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. (Dok. ANTARA Biro NTT)


Menuai apresiasi

Usaha ikan teri Hadakewa yang telah menembus hingga pasar nasional ini pun menuai pujian berbagai pihak, salah satunya dari Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat.

"Usaha teri Hadakewa ini merupakan inovasi yang luar biasa dan saya yakin produk ini ke depan akan menjadi salah satu keunggulan di NTT," kata Gubernur NTT.

Gubernur Viktor sendiri telah menyaksikan langsung aktivitas usaha teri Hadakewa dalam kunjungan kerjanya ke Kabupaten Lembata pada akhir Juli 2020.

Dalam kunjungan itu, ia menyatakan terus mendukung pengembangan usaha tersebut dan menjanjikan bantuan fasilitas seperti rumah pengering dan juga armada kapal ketinting.

Menyinggung terkait BUMDes di NTT, Gubernur Viktor mengatakan setiap BUMDes perlu mengembangkan model ekonomi kreatif dan inovatif seperti yang dilakukan di Hadakewa yang telah mendukung program pemerintah provinsi daam mewujudkan masyarakat NTT yang mandiri secara ekonomi.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat, (kiri) saat ditemani Kepala Desa Hadakewa Klemen Kwaman (kedua kiri) dalam kunjungan kerja meninjau produksi ikan teri yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tujuh Maret di Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur pada 29 Juli 2020. (Dok. ANTARA Biro NTT)


Sementara itu, Koordinator P3MD Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) wilayah NTT, Kandidatus Angge, beberapa kali melontarkan pujian terhadap usaha ikan teri Hadakewa yang dikelola melalui BUMDes Tujuh Maret ketika dihubungi secara terpisah.

"Usaha ikan teri di Hadakewa ini adalah bukti nyata bagaimana pemerintah dan masyarakat desa berhasil memanfaatkan Dana Desa dari APBN untuk menggeliatkan potensi ekonominya," katanya.

Usaha Teri Hadakewa, kata dia, juga menuai apresiasi dari Kemendes PDTT di Pusat sehingga BUMDes Tujuh Maret terpilih masuk dalam nominasi 15 BUMDes digital nasional pada 2020, yang mewakili NTT bersama BUMDes Au Wula di Kabupaten Ende yang mengembangkan usaha hortikultura.

Kandidatus berharap, keberhasilan BUMDes Tujuh Maret dapat merangsang BUMDes lainnya di seluruh NTT untuk berani berinovasi memanfaatkan dukungan Dana Desa yang dikucurkan pemerintah pusat.
Baca juga: Kemendes PDTT: BLT Dana Desa telah tersalur di 99 persen desa

Harapan serupa juga disampaikan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan NTT Lydia Kurniawati Christyana, dalam kegiatan rilis pers di Kupang terkait kinerja APBD semester I tahun 2020 Provinsi NT.

Lidya berharap agar agar dana desa bisa dimanfaatkan secara optimal untuk menumbuhkan ekonomi desa.

Pemerintah Pusat, kata dia, memberikan perhatian serius bagi pembangunan di NTT dengan menggelontorkan APBN salah satunya melalui program dana desa yang terus meningkat.

Dalam tiga tahun terakhir, NTT mendapat alokasi dana desa yang terus meningkat, di antaranya pada 2018 sebesar Rp2,55 triliun, kemudian pada 2019 menjadi sebesar Rp3,02 triliun dan selanjutnya sebesar Rp3,06 triliun pada 2020.

"Untuk itu kami berharap teman-teman di desa agar berkomitmen untuk memanfaatkan dana dana ini secara baik demi peningkatan kesejahteraan masyarakanya," pungkas Lidya.

Di balik harapan besar itu, Desa Hadakewa telah memulainya dengan mengangkat potensi potensi ikan teri dengan dukungan Dana Desa yang dikelola BUMDes Tujuh Maret.

Kepala Desa Hadakewa Klemens Kwaman mengaku butuh perjuangan yang keras untuk mewujudkan semua itu hingga akhirnya teri Hadakewa mendapat tempat di pasar nasional.

“Kami berjuang dengan keras dengan mengorbankan banyak hal dan semua proses ini tidak mengkhianati hasil,” ujarnya, menambahkan bahwa setelah usaha ikan teri ini kuat, maka pihaknya akan beralih memanfaatkan dana desa untuk pengembangan wisata kuliner.

Baca juga: Kemendes PDTT dorong desa-desa wisata untuk pemulihan ekonomi
Kepala Desa Hadakewa, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Klemens Kwaman saat berpose di pesisir pantai Desa Hadakewa. (ANTARA/HO-Kepala Desa Hadakewa Kelemens Kwaman)

Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2020