Denpasar (ANTARA) - Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Museum Bali bersama tim dari unsur akademisi dan pihak terkait mengkaji dan mendiskusikan koleksi busana parhyangan (kain penghias bangunan suci) untuk menjadi sumber belajar bagi masyarakat.

"Museum Bali memiliki puluhan koleksi busana parhyangan yang berupa pedapa, langse, ulon, ider- ider dan lamak," kata Anak Agung Ngurah Anom Mayun Konta Tenaya saat menjadi narasumber seminar Busana Parhyangan di Museum Bali di Denpasar, Rabu.

"Busana parhyangan" koleksi Museum Bali, ujar Anom Mayun, dibedakan dalam berbagai gaya sesuai dengan ciri khas budaya wilayah atau kabupaten asal kain-kain tersebut diproduksi.

Baca juga: Museum Bali kaji koleksi "Palalintangan" sebagai literasi peradaban

Dia mencontohkan untuk ider-ider (bagian dari penghias bangunan suci) yang dimiliki Museum Bali mencakup gaya Singaraja dan Jembrana. Kedua gaya tersebut memperlihatkan karakter masing-masing.

"Gaya Singaraja terbuat dari bahan songket dan sutera. Gaya Singaraja dengan kain sutra disulam dengan benang berwarna dan benang emas. Ragam hias yang digunakan bermotif wayang," ucap akademisi dari ISI Denpasar itu.

Baca juga: Olimpian ikut sumbang barang bersejarah di Museum Olahraga Surabaya

Sedangkan gaya Jembrana dari kabupaten paling barat Bali ditandai dengan bahan songket dengan motif khas Jembrana. Warna dasar ungu dan merah bata dengan motif cili. Pada bagian ujung terdapat alat pengikat dan pada bagian tepi bawah berumbai.

Demikian juga dengan "ulon" yang dimiliki Museum Bali terdiri dari gaya Klungkung dan Denpasar. Gaya Klungkung merupakan ciri tersendiri dengan lukisan wayang Kamasan yang sangat khas di antara lukisan wayang-wayang lainnya. Motif dilukis dengan pewarna alami dengan tema Ramayanana, Mahabrata dan para dewa.

Baca juga: Kolektor keramik Dinasti Ming hibahkan ke Museum Balaputra Dewa

"Yang jelas, dilihat dari koleksi busana parhyangan di Museum Bali itu dapat dilihat pada zaman dulu masyarakat Bali menggunakan kain-kain kualitas terbaik, demikian juga benang dan warna dalam pembuatan kainnya itu didapatkan dengan cara yang tidak mudah," ucapnya pada seminar yang juga menghadirkan Wayan Redig selaku narasumber.

Sementara itu, Kadek Adiana Putra, narasumber berikutnya banyak mengulas mengenai fungsi busana parhyangan.

Terkait dengan koleksi kain penghias bangunan suci yang dimiliki Museum Bali, berdasarkan kajian yang dilakukan ada tiga fungsinya yakni fungsi sosial religius, fungsi etika dan fungsi estetika.

"Diantaranya fungsi sosial religius itu bisa dilihat dari bentuk, warna busana parhyangan yang dikenakan pada setiap 'palinggih' atau bangunan suci dapat berfungsi sebagai media interaksi spiritual religius antara Ista Dewata yang distanakan dan dipuja pada palinggih dengan pemujanya," kata akademisi dari STIKI itu.

Sedangkan fungsi etika menyangkut tata-aturan yang berlaku dan dianggap baik oleh masyarakat, termasuk etika berbusana. Pemakaian busana pada bangunan suci menerapkan konsep Tri Angga sesuai struktur bangunan suci.

Kepala UPTD Museum Bali Gusti Agung Ayu Cipta Dewi menambahkan, dengan seminar bertajuk "Wahana Widya Krama: Hutan Literasi Peradaban" itu merupakan kelanjutan dari kajian koleksi Museum Bali, untuk bisa diterjemahkan bentuk dan fungsinya.

"Melalui seminar ini sekaligus untuk menyempurnakan laporan terhadap hasil kajian dan mendapatkan rekomendasi dari peserta seminar untuk menguatkan hasil kajian tim," ujarnya.

Anggota tim pengkaji koleksi busana parhyangan itu yakni Agung Ngurah Anom Mayun Konta Tenaya, I Gusti Ngurah Tara Wiguna, I Wayan Redig, Ida Pedanda Gede Putra Tembau, Ida Kadek Suarioka, dan I Kadek Adiana Putra.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2021