Ambon (ANTARA) - "Seluruh wilayah pesisir pantai di Maluku pernah terpapar tsunami. Beberapa di antaranya tercatat sebagai tsunami dengan korban jiwa banyak," kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, yang bersama timnya menelusuri zona bahaya gempa dan tsunami di Provinsi Maluku pada awal September 2021.

Dwikorita mendatangi beberapa daerah rawan bencana di wilayah provinsi berjuluk "Seribu Pulau" itu, termasuk daerah-daerah rawan di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah.

Wilayah Provinsi Maluku yang luasnya 712.480 kilometer persegi mencakup 7,6 persen daratan dan 92,4 persen laut.

Provinsi dengan 1.412 pulau dan panjang garis pantai 10.662 kilometer yang didiami sekitar 1,83 juta orang itu menghadapi berbagai potensi bencana.

Menurut BMKG, setidaknya ada 12 bencana terjadi berulang di Maluku termasuk banjir dan banjir bandang, gelombang tinggi dan abrasi, kekeringan, cuaca ekstrem, tanah longsor, epidemi dan wabah penyakit, kebakaran hutan dan lahan, gempa bumi, letusan gunung api, dan tsunami.

Gempa tektonik dan tsunami tercatat sebagai bencana yang sering terjadi di Kepulauan Maluku, wilayah yang berada di pertemuan lempeng Indo Australia, Eurasia, dan Pasifik yang terus bergerak aktif. 

Tsunami yang terjadi di kepulauan penghasil rempah-rempah itu umumnya disebabkan oleh gempa tektonik, erupsi gunung berapi, dan longsor di dasar laut.

Katalog Tsunami BMKG memperlihatkan, dari tahun 1600-an hingga 2006 terjadi 45 kali tsunami di wilayah Maluku, termasuk daerah Maluku Utara sebelum dimekarkan.

Sedangkan Catalogue of Tsunamis on the Western Shore of the Pacific Ocean (1974) menunjukkan antara tahun 1600 hingga 2015 ada lebih dari 85 kejadian gempa dan tsunami di wilayah Maluku. Angka itu mencakup 40 persen dari total 210 kejadian tsunami di Indonesia.

Peta wilayah terdampak tsunami di Indonesia yang dikeluarkan BMKG memperlihatkan, seluruh pesisir pantai di Provinsi Maluku pernah terkena dampak tsunami dalam skala kecil maupun besar, termasuk tsunami yang merusak dan menimbulkan korban jiwa.

Di wilayah Maluku, ada empat sesar besar aktif yang bisa memicu gempa dan tsunami yakni Sesar Buru Utara, Sesar Buru, Sesar Manipa, serta Sesar Bobot yang membentang di wilayah Seram Bagian Timur hingga Tenggara.

BMKG mencatat kejadian gempa bumi di Maluku utamanya meningkat pada 2019, ketika terjadi 5.101 kali gempa. 

Pada tahun 2020 frekuensi gempa bumi di Maluku menurun menjadi 3.239 kali, tetapi masih di atas rata-rata frekuensi gempa di provinsi itu, yang tercatat sekitar 1.000 kali per tahun.

Di antara gempa dan tsunami yang pernah terjadi di Maluku, ada beberapa yang menelan banyak korban jiwa. 

Gempa dengan magnitudo 7,8 dan tsunami yang terjadi di Pulau Seram pada 29 September 1899 mengakibatkan 4.000 orang meninggal dunia dan menyebabkan beberapa negeri tenggelam, termasuk Negeri Samasuru dan Amahai di Kabupaten Maluku Tengah.

Selain itu, ada gempa dengan magnitudo 7,8 sampai 8,0 yang meluluhlantakkan Pulau Ambon pada 17 Februari 1674 dan menyebabkan 2.243 orang meninggal dunia. 

Gempa dahsyat yang diikuti tsunami dari Laut Banda itu disebut ahli botani asal Jerman, Georg Eberhard Rumphius, sebagai "hari penghakiman" dalam Herbarium Amboinense.

BMKG juga mencatat kejadian gempa dengan magnitudo 7,3 yang disertai tsunami di Maluku pada 8 Oktober 1950, gempa dan tsunami di Ambon pada 29 September 2019 yang menyebabkan 31 orang meninggal dunia dan ribuan rumah serta fasilitas rusak, serta gempa dan tsunami di Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, pada 16 Juni 2021.

Selain itu ada bencana akibat letusan gunung di Pulau Damer, Kabupaten Maluku Barat Daya, pada 11 September 1659. Bencana itu menimbulkan korban jiwa dan kerusakan di gugusan Pulau Teon-Nila-Serua (TNS) serta memicu tsunami di Pulau Ambon.

Maluku juga menghadapi potensi tsunami non-tektonik, tsunami yang bukan disebabkan oleh gempa.

Hasil penelusuran dan verifikasi zona bahaya BMKG menunjukkan, Pulau Seram yang mencakup wilayah Maluku Tengah, Seram Bagian Barat, dan Seram bagian Timur merupakan wilayah dengan bahaya tsunami non-tektonik cukup tinggi karena memiliki laut dalam dengan tebing-tebing curam yang sangat rawan longsor.

"Gempa menjadi trigger (pemicu) terjadinya longsor yang kemudian menyebabkan gelombang. Dalam pemodelan, dapat disimpulkan apakah berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Bisa saja tidak, tapi ternyata gempa tersebut malah membuat longsor bawah laut yang kemudian memicu tsunami," kata Dwikorita.

Hingga saat ini pun belum ada yang mampu mendeteksi tsunami non-tektonik secara cepat, tepat, dan akurat. Sistem peringatan dini yang ada dibangun berdasarkan dampak goncangan gempa bumi.

Dwikorita mengatakan bahwa yang bisa dilakukan untuk mengetahui kejadian tsunami non-tektonik yakni memantau muka air laut menggunakan buoy atau tide gauge, namun cara itu juga dianggap kurang efektif karena alat baru bisa menyampaikan informasi usai kejadian tsunami. 

"Karena dipicu oleh longsoran bawah laut maka estimasi waktu kedatangan tsunami bisa sangat cepat. Hanya dalam hitungan kurang dari tiga menit, seperti yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah," katanya.

Karakter tsunami non-tektonik yang cepat tiba di bibir pantai, membuat konsep "20-20-20" (merasakan gempa selama 20 detik, waspada tsunami akan datang dalam waktu 20 menit, jika berada di garis pantai segera mengevakuasi diri ke bangunan atau daerah dengan ketinggian 20 meter) dalam mitigasi tsunami yang diterapkan di Pulau Jawa dan Sumatera kurang tepat dijalankan di wilayah Maluku.

Warga yang berada di sepanjang garis pantai di wilayah Maluku, seperti Pulau Seram, diminta segera melakukan evakuasi mandiri apabila merasakan getaran atau guncangan tanah atau gempa bumi tanpa harus menunggu peringatan dini dari BMKG.

"Belajar dari pengalaman, tidak usah menunggu peringatan dini tsunami. Segera lari begitu merasakan getaran tanah atau gempa. Jauhi pantai dan segera lari ke bukit-bukit atau tempat yang lebih tinggi," kata Dwikorita.
 
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati melihat peta zona rawan tsunami di pantai Dusun Mahu, kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Sabtu (4/9/2021). (ANTARA/Jimmy Ayal)


Rekomendasi Aksi

Dengan berbagai potensi bencana di wilayahnya, Pemerintah Provinsi Maluku harus meningkatkan kesiapsiagaan dan ketangguhan masyarakatnya dalam menghadapi bencana alam serta memperkuat sistem mitigasi bencana.

BMKG menyampaikan rekomendasi mitigasi bencana dan penerapan sistem peringatan dini ke Pemerintah Provinsi Maluku berdasarkan hasil verifikasi dan pengecekan di lapangan.

Rekomendasi BMKG mencakup rencana jangka pendek dengan waktu pelaksanaan kurang dari setahun, rencana jangka menengah dengan waktu pelaksanaan dua sampai tiga tahun, dan rencana jangka panjang dengan durasi pelaksanaan lima tahun.

Rekomendasi rencana jangka pendek mencakup sosialisasi dan verifikasi peta bahaya dan peta risiko tsunami, penyiapan peta, penyiapan jalur dan rambu evakuasi, inventarisasi dan penyiapan gedung atau bangunan sebagai tempat evakuasi sementara, serta penguatan sistem peringatan dini tsunami.

Upaya jangka pendek lainnya adalah penguatan kapasitas badan penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan tim siaga bencana, penyusunan rencana kedaruratan dan standar evakuasi, pelatihan dan gladi evakuasi secara rutin dengan memperhitungkan jarak dan waktu, serta penguatan kemampuan memobilisasi warga dalam evakuasi.

Dalam jangka menengah, BMKG merekomendasikan Pemerintah Provinsi Maluku melakukan penyempurnaan tata ruang dengan memperhatikan peta multi bahaya, menjalankan pengecekan bangunan strategis untuk memastikan bangunan tahan gempa dengan magnitudo 7,8, merelokasi pemukiman yang berada di zona rawan gempa dan tsunami, memperkuat infrastruktur pantai yang rawan menghadapi tsunami, serta melakukan penghijauan untuk membentengi kawasan pantai dari dampak tsunami.

Selain itu, Pemerintah Provinsi Maluku dalam jangka panjang direkomendasikan melakukan evaluasi dan monitoring implementasi sistem mitigasi multi bencana serta menyempurnakan tata ruang dan kebijakan daerah mengenai mitigasi bencana.

Penerapan rekomendasi jangka pendek hingga jangka panjang tersebut diharapkan bisa meminimalkan korban jiwa dan kerusakan akibat gempa dan tsunami.

Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Maluku Sadli Ie menyatakan bahwa pemerintah daerah akan menindaklanjuti rekomendasi aksi dari BMKG bersama instansi teknis terkait kebencanaan.

"Dalam waktu dekat kami akan rapat koordinasi dengan semua instansi teknis kebencanaan untuk membicarakan upaya mitigasi yang perlu segera dilakukan berdasarkan rekomendasi BMKG ini," katanya.

Menurut dia, dengan data pemodelan zona gempa dan tsunami dari BMKG semua komponen di Maluku bisa bergerak cepat untuk meningkatkan kesiapsiagaan  masyarakat dalam menghadapi bencana alam.
 
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati (tengah) berdialog dengan Wakil Bupati Maluku Tengah Marlatu Leleury (kiri) dan Raja negeri Amahai Negeri Amahai Frederik Hallatu (kanan) tentang potensi tsunami di Amahai, Maluku Tengah, Maluku, Jumat (3/9/2021). (ANTARA/Jimmy Ayal)


Membangun Kesiapsiagaan

Dalam upaya meminimalkan dampak bencana alam, Pemerintah Provinsi Maluku berusaha membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Upaya untuk membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana dilakukan dengan memperhatikan budaya lokal, termasuk memanfaatkan budaya bertutur untuk membangun kemampuan mitigasi bencana di desa-desa.

Penjabat Negeri Samasuru di Kabupaten Maluku Tengah Kres Waileruny meminta orang-orang menceritakan kembali gempa dan tsunami yang disebut sebagai "bahaya seram", bencana yang menenggelamkan kampung pada 29 September 1899.

"Ini sejarah yang harus dituturkan kepada seluruh anak negeri Samasuru sejak mereka kecil, sehingga mereka lebih siap menghadapi gempa dan tsunami, karena siklusnya terus berulang," ujarnya.

Bencana yang oleh masyarakat setempat disebut "air bah" itu kembali terjadi tahun 2006, tetapi tidak sampai menimbulkan korban jiwa karena warga negeri tersebut langsung melakukan evakuasi secara mandiri saat merasakan goncangan akibat gempa.

Gempa tahun 2006 membuat bibir pantai Negeri Samasuru semakin curam. Warga mengukur kedalamannya. Pada jarak tiga meter dari bibir pantai kedalamannya mencapai 32 meter dan pada jarak sembilan meter dari pantai kedalamannya sampai 29 meter lebih.

Di negeri itu telah dibangun talud penahan ombak setinggi 1,5 meter sekira 10 meter dari bibir pantai. Talud itu menjadi penanda batas jangkauan tsunami yang pernah menenggelamkan negeri itu pada 1899.

Selain warga Negeri Samasuru, warga Negeri Amahai juga menuturkan kembali sejarah mengenai "bahaya seram" kepada generasi muda maupun para pendatang yang mengunjungi wilayahnya.

Di tepi pantai dekat Pelabuhan Amahai, tugu peringatan berisi relief yang menggambarkan dahsyatnya bencana itu didirikan. 

Permukiman warga Amahai saat ini berada sekitar 300 meter dari kampung lama mereka yang telah tenggelam.

"Budaya bertutur tentang sejarah ini terus diwariskan turun-temurun, sehingga setiap anak negeri mengetahuinya, sekaligus mengedukasi mereka tentang mitigasi bencana," kata Raja Amahai Frederik Halattu.

Pemerintah negeri juga telah menetapkan lokasi kumpul yang aman dan mudah dijangkau serta memasang rambu-rambu evakuasi untuk memudahkan warga melakukan evakuasi secara mandiri saat terjadi gempa.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku Hendri M. Far-Far menyatakan bahwa BPBD mendukung penggunaan budaya lokal untuk membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan masyarakat menghadapi bencana.

Di daerah atau kampung tertentu, BPBD menyosialiasikan penggunaan "toleng-toleng" atau kentongan sebagai alarm untuk peringatan dini gempa dan tsunami.

"Penggunaan 'toleng-toleng' sebagai alarm atau peringatan dini sudah disosialisasikan secara masif. Di banyak daerah warga juga menggunakan tiang listrik atau lonceng gereja dan beduk masjid sebagai alarm saat terjadi bencana," kata Hendri.

Di samping itu, BPBD mendorong pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana) di 11 kabupaten kota di Maluku. Namun saat ini baru tiga Destana yang terbentuk di Maluku.

Hendri menyebut keterbatasan anggaran menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan upaya mitigasi bencana selain keterpaduan langkah dan gerak para pemangku kepentingan terkait kebencanaan di 11 kabupaten/kota.

Oleh karena itu, BPBD Maluku mendorong pemerintah desa memanfaatkan Dana Desa untuk membangun infrastruktur pendukung upaya penanganan bencana seperti jalur dan rambu evakuasi.

"Kita terus dorong agar menggunakan dana desa membangun infrastruktur tanggap bencana. Misalnya pembuatan rambu-rambu evakuasi, memperbanyak jalur evakuasi maupun lokasi titik kumpul yang aman," katanya.

Dengan infrastruktur pendukung penanganan bencana yang memadai dan kesiapsiagaan warga menghadapi bencana, harapannya kerusakan dan korban akibat bencana bisa ditekan seminimal mungkin di wilayah Provinsi Maluku.

Baca juga:
BMKG minta Maluku Tengah perbanyak jalur evakuasi di Tehoru
​​​​​​​
BMKG: Maluku Tengah hadapi potensi tsunami non-tektonik

 

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021