Lebak (ANTARA) -
Masyarakat Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, dikejutkan dengan gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,6  yang merusak ribuan rumah pada Jumat (24/1) sore pukul 16.05 WIB.
 
Rumah yang rusak masuk kategori ringan, sedang hingga rusak berat dan tidak dapat ditempati.
 
Meski ribuan rumah rusak, tetapi hingga kini tidak ada masyarakat yang tinggal di pos pengungsian.
 
Mereka lebih memilih tinggal bersama kerabat maupun rumah orang tua yang selamat dari terjangan gempa tersebut dan mendambakan bantuan perbaikan dari pemerintah.
 
Mereka saat ini tidak mampu membangun kembali rumah karena kesulitan ekonomi akibat dampak pandemi itu.
 
"Kami sangat mendambakan bantuan perbaikan rumah," kata Inah (55) warga Kertamukti Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang.
 
Mereka bingung untuk kembali membangun rumah yang rusak karena tidak memiliki uang.

Baca juga: Gempa bumi di Pandeglang berdampak pada 30 kecamatan

Korban luka
 
Saat ini, kondisi rumah mereka tidak bisa  ditempati karena dikhawatirkan roboh jika terjadi gempa susulan.
 
"Kami bersama keluarga untuk sementara tinggal bersama orang tua yang lokasi rumahnya berdekatan dan selamat dari gempa itu," katanya menjelaskan.
 
Begitu juga Sanusi (50), warga Taman Jaya Kecamatan Sumur Pandeglang, yang mengaku sangat mendambakan perbaikan karena tak mampu kembali membangun rumah.
 
Apabila diperbaiki dipastikan mencapai puluhan juta rupiah, sebab sebagian besar tembok dindingnyaretak-retak dan kondisi bangunan rumah miring.
 
Selain itu, kondisi rumah tersebut cukup membahayakan jika ditempati sehingga keluarga mengungsi ke rumah kerabat.
 
Dirinya berharap pemerintah segera membantu perbaikan agar kondisi rumah miliknya layak huni.
 
"Kami merasa khawatir rumahnya itu jika diterpa angin kencang, roboh," kata Sanusi.
 
Sekretaris Camat Sumur, Pandeglang, Amsor mengatakan jumlah rumah yang rusak akibat gempa bumi itu tercatat 459 unit terdiri dari kategori rusak berat 53 unit, rusak sedang 134 unit dan rusak ringan 272 unit.
 
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pandeglang Girgi Jantoro mengatakan saat ini jumlah rumah yang rusak tercatat 2.423 unit tersebar di 30 kecamatan dan 171 desa.
 
Dari 2.423 unit, yang rusak berat 362 unit, rusak ringan 1.535 unit dan rusak sedang 526 unit, sedangkan sarana fasilitas umum yang rusak, terdiri gedung sekolah 43 unit, puskesmas 16 unit, kantor desa empat unit, masjid 15 unit dan tempat usaha tiga unit.
 
Kerusakan rumah juga terjadi di 30 kecamatan antara lain Kecamatan Sumur, Panimbang, Cikeusik, Cimanggu, Mandalawangi, Cibaliung, Sukaresmi, Munjul, Carita, Angsana, Pagelaran, Jiput, Saketi, Bojong, Cigeulis, dan Kecamatan Cibaliung.
 
Lalu di Kecamatan Banjar, Sobang, Majasari, Menes, Pulosari, Cisata, Labuan, Cibitung, Cimanuk, Cikeudal, Picung, Cipeucang, Patia, dan Kecamatan Kaduhejo.
 
Semua rumah warga yang mengalami kerusakan akan mendapatkan bantuan perbaikan setelah hasil verifikasi itu.
 
Gempa tektonik magnitudo 6,6 yang berpusat di Perairan Sumur atau Perairan Ujung Kulon cukup kuat getarannya hingga dirasakan di sejumlah daerah di Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta.
 
Namun, beruntung gempa tersebut tidak menimbulkan korban jiwa, meski dua warga mengalami luka-luka akibat tertimpa reruntuhan bangunan rumah.
 
Kedua warga itu kini sudah kembali pulih setelah menjalani perawatan medis di puskesmas setempat.
 
Percepat verifikasi
 
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto meminta Pemkab Pandeglang mempercepat pendataan dan verifikasi rumah-rumah warga terdampak gempa bumi sesuai kriteria dan kondisi kerusakan agar bantuan dan dukungan lainnya dapat segera disalurkan.
 
“Mohon nanti segera didata dan diverifikasi ulang, ya. Agar mereka (warga terdampak) dapat segera kita bantu dan dukung untuk pemulihan,” kata Suharyanto.
 
Kepala BNPB juga meninjau lokasi bencana di Desa Cigeulis, Kecamatan Cigeulis, Pandeglang.
 
Di lokasi tersebut, dia melihat langsung kondisi rumah warga yang rusak di bagian dinding dan atap.
 
Mantan Pangdam V Brawijaya itu menyarankan agar bangunan rumah sebaiknya dibuat lebih kokoh dengan pondasi yang tahan guncangan gempa.
 
Sebab yang menjadi ancaman bukan gempa bumi, namun struktur bangunan yang tak kuat menahan guncangan, karena itu bangunan harus dibuat kukuh agar tahan gempa.
 
Suharyanto berharap agar kerusakan tersebut dapat segera diperbaiki sehingga masyarakat bisa kembali kehidupan normal.
 
Tentunya perbaikan tersebut harus lebih baik dan memperhatikan faktor kenyamanan dari guncangan gempa bumi.
 
Dia berharap perbaikan rumah warga itu bisa dilakukan secepatnya.

Baca juga: BMKG: Konstruksi bangunan terdampak gempa Banten tidak penuhi standar
 
Relokasi
 
Dalam kunjungan Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Desa Cibeulah, Pandeglang, dia membuka opsi relokasi tempat tinggal warga yang terdampak bencana gempa bumi itu.
 
Selama ini, wilayah Pandeglang termasuk zona merah gempa bumi.
 
Pemerintah sedang memikirkan karena daerah ini daerah jalur merah, sekarang sedang dipikirkan apakah sebaiknya dilakukan relokasi.
 
Selama ini, wilayah Pandeglang sering terjadi gempa yang menimbulkan korban dan suasana tidak tenang.
 
Masyarakat yang terdampak bencana tidak keberatan dengan opsi tersebut.
 
Wapres pun berjanji mencari lokasi hunian yang tidak terlalu jauh, namun dipastikan lebih aman.
 
"Saya tanya andai kata direlokasi yang tak jauh dari sini, mereka kayaknya tidak keberatan, seperti di Lumajang, direlokasi ke tempat yang lebih baik dan aman," kata Ma'ruf.
 
Gempa dan tsunami
 
Banten diketahui memiliki catatan kelam soal gempa dikarenakan Banten berada tidak jauh dari Selat Sunda.
 
Selat Sunda adalah salah satu zona celah seismik (seismic gap) yang berpotensi kuat menjadi sumber gempa.
 
Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami di wilayah Selat Sunda terjadi pada 1722 silam, kemudian pada 1852, serta pada 1958, yang semua disebabkan gempa.
 
Kemudian, tsunami yang berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau berdasarkan catatan sejarah terjadi pada 416 silam, kemudian pada 1883, pada 1928, serta pada 2018 lalu.
 
Selain itu tsunami yang terjadi pada 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsor.*
   

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022