Jakarta (ANTARA News) - Tata kelola pemerintahan yang baik adalah salah satu janji kampanye yang disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono ketika maju kembali sebagai calon presiden dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.

Tata kelola pemerintahan yang baik, menurut Yudhoyono dalam visi, misi, dan program aksi disusun bersama calon wakil presiden Boediono pada 25 Mei 2009, dilakukan melalui reformasi birokrasi secara bertahap dan terencana yang bertujuan memperbaiki pelayanan publik karena jajaran birokrasi adalah pelayan dan pelindung kepentingan masyarakat.

"Langkah yang telah dan terus kita lakukan mencakup perbaikan sistem dan budaya kerja, pengukuran kinerja, penerapan disiplin, dan remunerasi yang memadai. Termasuk di dalamnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemerintahan. Inilah esensi dari penerapan tata pemerintahan yang baik," demikian yang tertulis dalam janji kampanye pasangan Yudhoyono-Boediono berjudul "Membangun Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan".

Namun, dalam rapat kerja pemerintah menjelang akhir tahun 2011 di Istana Bogor, Jawa Barat, pada 23 Desember 2011, atau dua tahun setelah pemerintahan pasangan Yudhoyono-Boediono yang terpilih sebagai pucuk pimpinan negara pada Pemilu 2009, ternyata masalah birokrasi diakui sendiri oleh Presiden Yudhoyono masih menjadi salah satu persoalan utama menghambat pembangunan.

"Kalau dulu yang menjadi hambatan adalah situasi keamanan, dulu begitu, terutama awal krisis dulu atau pun tahun-tahun setelah krisis. Tetapi sekarang, ternyata birokrasi yang dianggap menjadi penghalang, kedua infrastruktur, dan ketiga korupsi," tutur Presiden sebelum memimpin rapat yang dihadiri Wakil Presiden Boediono dan seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu II itu.

Menurut Presiden, birokrasi yang menghambat itu tidak hanya terjadi di tingkat pusat, namun juga menyebar di banyak daerah. Keadaan itu, lanjut dia, tidak hanya bisa diperbaiki dengan rencana aksi dan sebenarnya tidak identik dengan remunerasi telah dilakukan di beberapa kementerian dan instansi negara.

"Yang kita lihat output-nya, berubah atau tidak"? ujarnya.

Meski merupakan persoalan kompleks, Presiden mengatakan, reformasi birokrasi wajib dilakukan melalui perubahan-perubahan fundamental. Ia pun menegaskan tidak akan segan memecat aparat pemerintah yang dalam menjalankan tugasnya justru menghalang-halangi upaya reformasi birokrasi.

"Kalau memang sungguh menjadi penghalang mereka-mereka yang tidak mau dan tidak berubah harus kita ikhlaskan tidak bersama-sama menjalankan tugas karena mengganggu segalanya," katanya.

Remunerasi dan Rekening "Gendut"
Reformasi birokrasi dan penertiban aparatur negara adalah salah satu sasaran Presiden Yudhoyono ketika merombak Kabinet Indonesia Bersatu II pada Oktober 2011. Mantan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Azwar Abubakar menggantikan EE Mangindaan sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang digeser posisinya menjadi Menteri Perhubungan.

Dilakukan juga penambahan satu personil untuk mempercepat proses reformasi birokrasi dengan penunjukan Guru Besar Administrasi Negara Universitas Indonesia, Eko Prasodjo, sebagai Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Melalui perombakan dan penambahan wakil menteri itu, Presiden berharap pemerintahan yang efektif dan akuntabel dapat tercipta melalui perbaikan pengambilan kebijakan publik di sektor pemerintahan, perbaikan proses pelayanan publik, reformasi kepegawaian, serta penguatan hukum administrasi negara.

Namun, sebelum reformasi di kementerian tersebut menggaungkan hasilnya, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap temuan rekening milik sepuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS) muda berusia 28-38 tahun yang bernilai miliaran rupiah, jauh melampaui pendapatan resmi mereka.

Rekening milik PNS muda umumnya dari golongan IIIB sampai IV yang menduduki jabatan strategis seperti bendahara itu ditengarai oleh PPATK berindikasi tindak pidana pencucian uang. Temuan semacam itu sebenarnya sudah dilaporkan oleh PPATK sejak 2002 namun tidak ada tindak lanjut dari penegak hukum. Pada 2011, temuan itu kembali disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

PNS muda pemilik rekening gendut ditengarai sebagian besar berasal dari Kementerian Keuangan seperti Gayus Tambunan yang pernah menghebohkan seantero negeri dengan nilai kekayaannya yang sangat fantastis.

Kementerian Keuangan padahal salah satu kementerian yang telah menjalankan proses remunerasi melalui penambahan tunjangan bagi pegawai sebagai stimulan untuk meningkatkan kinerja dan disiplin.

Menteri Keuangan Agus Martowardoyo mengaku sudah merespon laporan PPATK dengan memeriksa pegawainya yang melakukan transaksi mencurigakan dalam rekening mereka.

"Laporan informasi itu semuanya ditindaklanjuti kalau laporan informasi itu pasti terkait dengan adanya rekening yang mencurigakan atau transaksi mencurigakan yang juga terkait dengan kemungkinan `money laundring?. Oleh karena itu diperiksa dan saya sendiri terus memantau," tuturnya.

Agus menyebutkan sampai saat ini setidaknya lebih dari 30 pegawai Kementerian Keuangan telah diberikan hukuman disiplin.

"Sudah ada yang dikeluarkan tidak dengan hormat dan bahkan sudah ada yang diproses secara hukum untuk diserahkan kepada negara," ujarnya.

Kepercayaan Publik
Temuan rekening "gendut" PNS muda itu merupakan sebuah tanda tanya besar bagi upaya reformasi birokrasi yang selama ini dijalankan pemerintah serta remunerasi yang telah diberlakukan di beberapa lembaga negara.

Dan tanda tanya tersebut dijawab oleh hasil survei setiap tahun dilakukan oleh Transparansi Internasional (TI) untuk mengukur tingkat kepuasan masyarakat, terutama pelaku bisnis, terhadap pelayanan publik di hampir seluruh negara di dunia yang dirumuskan dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK).

IPK merentang dari skala 0-10 dengan angka 10 adalah skor tertinggi yang melambangkan pelayanan publik bebas dari segala unsur korupsi. Semakin kecil angka indeks menunjukkan semakin besar potensi terjadinya korupsi di negara tersebut.

Pada 2011, Indonesia hanya memperoleh penambahan skor 0,2 untuk IPK menjadi 3,0 dari sebelumnya stagnan di angka 2,8 pada 2010 dan 2009. Angka tersebut mendudukkan Indonesia berada pada peringkat ke-100 dari 183 negara di dunia sekelompok dengan beberapa negara lain yang memperoleh nilai sama, yaitu Argentina, Malawi, Meksiko, Suriname, dan Tanzania.

Lima negara yang memperoleh skor tertinggi adalah Selandia Baru (9,5), Denmark (9,4), Finlandia (9,4), Swedia (9,3), dan Singapura (9,2).

Ketua TI Indonesia Natalia Subagyo menyatakan penambahan skor Indonesia sebanyak 0,2 itu bukanlah sebuah pencapaian signifikan mengingat Presiden Yudhoyono menargetkan Indonesia meraih angka 5 untuk IPK 2014.

?Jadi, pesan yang bisa ditangkap dari hasil ini adalah tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,? ujarnya.

TI Indonesia menyarankan agar pemerintah dapat melakukan beberapa langkah untuk menaikkan skor IPK yang salah satunya adalah melakukan perbaikan serius terhadap proses perijinan usaha karena salah satu sumber data CPI adalah para pelaku bisnis.

Selain itu, TI Indonesia meminta pemerintah agar melakukan reformasi birokrasi yang menyeluruh dan komprehensif untuk menutup peluang korupsi, melakukan perbaikan menyeluruh pada institusi penegak hukum, serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi.

IPK, meski berupa persepsi, adalah penilaian yang diperoleh dari kenyataan telah dialami oleh para responden yang terlibat dalam survei. Bahwa kenyataannya, pelayanan publik masih dikotori oleh praktik korupsi. Dan birokrasi yang rumit dan bertele-tele hanya bisa diselesaikan melalui upeti akhirnya menyeret warga negara menjadi para pelaku korupsi mulai dari kelas teri sampai kelas kakap.

Publik telah menjawab melalui IPK yang diperoleh Indonesia pada 2011 bahwa Presiden Yudhoyono beserta kabinetnya masih harus bekerja keras mewujudkan janji kampanye dilontarkan pada 2009.
(D013)

Oleh Diah Novianti
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011