Jakarta (ANTARA News) - "Senyum adalah paling indah setelah sedu sedan. Kilat, kemudian hujan tawa."

"Beban adalah fondasi kerehatan. Kepahitan adalah pembuka jalan kenikmatan".

"Kakimu kan terasa berat dan lelah. Lalu datang saat ketika kau rasakan sayap-sayap yang kau tumbuhkan, mengangkatmu."

Demikianlah beberapa potongan puisi penyair muslim Persia, Jalaluddin Rumi (1207-1273), yang dituangkan cendekiawan muslim Indonesia Dr. Haidar Bagir dalam buku "Belajar Hidup dari Rumi: Serpihan-Serpihan Puisi Penerang Jiwa".

Haidar mengakui bahwa secara keseluruhan pemikiran Rumi yang tertuang dalam puisi-puisinya relatif sulit dipahami.

Namun, dia mengatakan, di balik kerumitan itu puisi Rumi terasa dekat dan memiliki resonansi dengan kehidupan dan bisa menjadi sumber inspirasu yang mencerahkan dan menguatkan pembacanya.

"Saya pilih serpihan-serpihan Rumi yang orang bisa rasakan getarannya, yang lebih dekat dengan kesehariannya. Rasa gembira, sumpek, sepi, semua mengalami itu," ujar Haidar kepada ANTARA News, Kamis (17/9).

Haidar hanya menghadirkan potongan-potongan puisi Rumi, yang karya-karya puisinya utamanya tertuang dalam Diwani Shamsi Tabrizi dan Mathnawi.
 
Dia memilih dengan seksama potongan-potongan puisi Rumi yang mudah dipahami pembaca dan menuangkannya dalam buku bersampul merah setebal 292 halaman itu.
 
Haidar ingin mengajak pembaca menyadari hakikat kematian, dan mengingatkan soal Ketuhanan melalui cinta dengan potongan-potongan puisi Sang Sufi berikut.

"Kangen sekali aku hingga kepada-Mu aku akan terbang lebih pesat dari burung. Tapi, bagaimana seorang burung dengan sayap terpotong bisa terbang?"

"Cinta memanggil, di mana saja, kapan saja. Kami segera berangkat ke langit. Akan ikutkah?".

"Ketika cinta itu sendiri datang untuk menciummu, jangan kau tahan-tahan. Cinta adalah cahaya jiwa."

Cinta, bagi Rumi, merupakan upaya memahami dunia. Cinta di sini bukan semata dalam bentuk fisik, menurut Haidar.

Selain itu, masih banyak lagi buah pikiran Rumi dihadirkan Haidar dalam buku yang terbit Juni 2015 itu.

Dia berusaha menyederhanakan bahasa Rumi agar lebih mudah dipahami. Dia tak lupa mencantumkan catatan kaki untuk membantu menjelaskan maksud puisi kepada pembaca.

Sekalipun usaha Haidar tak bisa selalu membuat pembaca memahami puisi Rumi, buku itu bisa menjadi penghilang dahaga bagi mereka yang haus akan sentuhan rohani. Dan para penyuka puisi, paling tidak akan "digedor" hatinya.
 

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015