Memasuki tahun politik 2018, tak ada harapan yang lebih indah ketimbang keinginan tentang terwujudnya praksis politik yang menghalalkan yang etis saja, sebuah kontras atas prinsip machiavelian, yang menghalalkan segala cara.

Pada 2018 inilah pilkada serentak digelar di berbagai daerah, yang menuntut pihak aparat keamanan bersiaga dan berwaspada penuh karena selalu saja ada pihak-pihak yang belum dewasa dalam menerima kekalahan dalam persaingan merebut kekuasaan politik.

Harapan bahwa hanya yang etislah yang pantas ditempuh dalam memenangi pilkada serentak pada 2018 menjadi signifikan karena situasi di era pascakebenaran atau post-truth sangat rentan terhadap terjadinya silang sengketa, pertikaian dan pergolakan yang merugikan kehidupan demokrasi.

Para pemikir sosial mengatakan bahwa di era pascakebenaran, fakta-fakta tak lagi menjadi landasan utama dalam memverifikasi kebenaran faktual dan berargumentasi. Ada kecenderungan bahwa perasaan alias emosi dan keyakinan justru menjadi instrumen yang dikedepankan dalam beradu argumen kebenaran.

Dalam kondisi inilah tak terelakkan lagi jika terjadi benturan antara pihak-pihak yang bertikai, yang memiliki latar belakangan keimanan yang berbeda. Para pendekap keyakinan yang berbeda-beda sangat rentan untuk dibenturkan kepentingan mereka oleh sejumlah politikus yang sedang berebut kuasa dalam pilkada serentak 2018.

Pada titik inilah para politikus dituntut kedewasaan atau kematangan politik mereka dalam bermanuver di masa-masa kampanye yang cukup krusial. Politik yang dilandaskan pada populisme sering bertumpu pada prinsip machiavelian, yang menghalalkan segala cara.

Dalam konteks pergantian elite politik, ada situasi yang menguntungkan dalam praktik politik nasiaonal maupun regional, ketika memasuki tahun politik 2018, yakni naiknya figur Airlangga Hartarto menggantikan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.

Publik telah mencatat komitmen Airlangga, yang akan menjadikan Partai Golkar dengan citra partai yang bersih. Komitmen itu tentu perlu dikonkretkan dalam manuver Partai Golkar saat mengejawantahkan kepentingan politiknya.

Sebagai partai berideologi nasionalis, yang kedekatannya dengan ideologi Pancasila tak perlu diragukan lagi, tak ada yang mencemaskan dari politikus Partai Golkar dalam hal mengajak pemilik suara untuk memilih dirinya. Selama ini Partai Golkar juga tak punya kecenderungan untuk menjadikan ayat-ayat suci sebagai alasan etis mencoblos gambar wakil rakyat di bilik suara.

Namun, yang justru lazim dilakukan oleh politikus Partai Golkar dan parpol lainnya adalah praktik politik uang, yang tentu saja di masa yang akan datang menjadi haram dalam konteks kepemimpinan Airlangga Hartarto. Memang persoalan itu tidak simplistis dan begitu mudah diurai tali-temalinya. Namun, dengan pantokan politik bahwa Partai Golkar harus bersih, para kader di bawahnya perlu menerjemahkannya dalam kiprah perpolitikan mereka, terutama di saat kampanye pemilihan umum.

Dengan mengikuti garis politik bosnya di partai berlambang pohon beringin, jika dilakukan secara ajek dan konsisten, perpolitikan nasional akan memperoleh cipratan alias dampak positif saat memasuki tahun politik 2018.

Bagaimana dengan parpol-parpol yang meskipun ideologi dasarnya berpatokan pada Pancasila, namun ada sentuhan tambahan ideologi bermuatan unsur religius? Harapan yang pantas diminta dari mereka tentu tidak memprovokasi pemilih dengan ayat-ayat suci. Mencampuradukkan politik dan ayat-ayat suci bukan ideal yang dikehendaki dalam demokrasi.

Tentu tak ada pasal-pasal hukum yang terlanggar ketika seorang politikus mengutip ayat-ayat suci dalam berkampanye. Yang jadi masalah adalah jika pengutipan itu dikembangkan dengan memberikan makna yang dapat menggiring pendengarnya yang tak kritis untuk menilai pesaing politik mereka sebagai lawan yang profan.

Tampaknya para politikus perlu menyadari bahwa memasuki tahun politik 2018, dalam berkampanye, jalan untuk berpolitik etis bisa ditempuh dengan lebih mengedepankan fakta-fakta dan data-data sebagai pendukung bukti-bukti prestasi yang mereka raih dan bukannya melakukan penghakiman atas sejarah masa lalu lawan politik mereka.

Sebagai contoh, mengorek masa lalu apalagi dengan membungkusnya dalam bentuk fitnah tak berdasar tentang keterlibatan lawan politik pada ideologi komunis, bukanlah bentuk berkampanye cerdas yang layak dilakukan pada kampanye di pilkada serentak 2018.

Di samping mendapat keuntungan dengan pergantian di pucuk pimpinan salah satu parpol besar, tahun politik 2018 juga kian menjanjikan di sisi pengamanannya dengan terjadinya pergantian pimpinan di tubuh Tentara Nasional Indonesia, yang belakangan ini menampakkan sinergi yang padu dengan pimpinan di tubuh Polri.

Kekompakan tekad pimpinan TNI dan Polri dalam mengamankan Pilkada Serentak 2018 maupun Pileg dan Pilpres2019 menjadi faktor yang mendukung dalam merealisasikan harapan akan penghalalan hanya pada yang etis-etis saja.

Sesungguhnya salah satu penentu penting berlangsungnya prinsip etis dalam berpolitik terletak pada publik itu sendiri, terutama pada warga yang paling minim ketercerahan politik mereka. Artinya, jika publik yang berpendidikan minimal, misalnya, tak mudah terprovokasi oleh elite politik, baik saat berkampanye dengan mengutip ayat-ayat suci maupun menjalankan politik uang, saat itulah kedewaaan berdemokrasi mulai berfungsi efektif.

Namun, jika masih banyak publik terutama di lapisan akar rumput, yang mudah termakan oleh isu-isu intoleransi, primordial dan mudah tergoda oleh politik uang, kedewasaan berdemokrasi itu masih harus diperjuangkan lagi.


Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017