Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan jawaban atas praperadilan yang diajukan tersangka suap pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di Pemkot Kendari Tahun 2017-2018, Asrun.

Pokok gugatan praperadilan yang disampaikan mantan Wali Kota Kendari yang juga calon Gubernur Sulawesi Tenggara ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yaitu pertama tindakan termohon (KPK) membawa pemohon sebagai tindakan melanggar hukum dan HAM.

"Termohon melakukan tangkap tangan terhadap tersangka yang didasari surat perintah penyelidikan tanggal 24 November 2017. Dalam proses penyelidikan, termohon mendapatkan fakta-fakta indikasi penerimaan hadiah atau janji oleh pemohon," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.

Selanjutnya, kata dia, tindakan termohon membawa pemohon merupakan tindakan sah dan berdasar atas hukum.

"Hal ini terkait dengan pasal 1 angka 19 KUHAP tentang definisi tertangkap tangan dan?sesuai pasal 18 ayat (2) KUHAP dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah penangkapan," ucap Febri.

Selanjutnya, terkait penetapan tersangka yang tidak sah karena belum ditemukannya dua alat bukti yang sah.

"Dalil yang disampaikan pemohon bahwa penetapan tersangka terhadap pemohon berdasarkan proses penyidikan dan bukan penyelidikan adalah keliru dan tidak beralasan," tuturnya.

Ia menyatakan sesuai Pasal 6 Undang-Undang KPK bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang KPK.

"Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KPK menyatakan bahwa penyelidikan tidak hanya bertujuan untuk menemukan peristiwa pidana tetapi lebih jauh dari itu, penyelidikan sudah bertujuan untuk menemukan bukti permulaan yang sekurang-kurangnya dua alat bukti," ujarnya.

Terakhir, soal penahanan terhadap tersangka tidak sah karena penetapan sebagai tersangka tidak sah.

"Penahanan terhadap pemohon adalah tindakan sah dan berdasar hukum. Penahanan merupakan salah satu kewenangan 'pro justicia' sejak penyidikan sampai persidangan terhadap tersangka atau terdakwa yang dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim," kata Febri.

Febri menyatakan bahwa pemohon tertangkap tangan bersama-sama pihak lainnya

"Setelah dilakukan penangkapan terhadap diri pemohon secara tertangkap tangan, termohon segera melakukan permintaan keterangan atau pemeriksaan dalam tahap penyelidikan, kemudian termohon meningkatkan pemeriksaan ke tahap penyidikan dan melakukan penahanan terhadap diri pemohon," tuturnya.

Sesuai pasal 21 KUHAP, kata Febri, penyidik telah melakukan penahanan terhadap pemohon dengan telah memenuhi syarat penahanan subyektif terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.

Selain Asrun, KPK juga telah menetapkan tiga tersangka lainnya dalam kasus itu antara lain Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra, swasta yang juga mantan Kepala BPKAD Kota Kendari Fatmawati Faqih, dan Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) Hasmun Hamzah.

Sebelumnya dalam penyidikan kasus itu, KPK telah menemukan uang suap sekitar Rp2,8 miliar.

Uang dalam pecahan Rp50 ribu itu rencananya akan diberikan kepada Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra.

Diduga uang tersebut juga untuk kepentingan biaya logitik Asrun yang merupakan ayah dari Adriatma dan juga calon Gubernur Sulawesi Tenggara.

Wali Kota Kendari diduga bersama-sama pihak menerima hadiah dari swasta atau pengusaha terkait pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kota Kendari Tahun 2017-2018 senilai total Rp2,8 miliar.

Diduga PT SBN merupakan rekanan kontraktor jalan dan bangunan di Kendari sejak 2012.

Pada Januari 2018 ini, PT SBN memenangkan lelang proyek Jalan Bungkutoko - Kendari New Port dengan nilai proyek Rp60 miliar.

Dugaan penerimaan uang atau hadiah oleh Wali Kota Kendari melalui pihak lain tersebut diindikasikan untuk kebutuhan kampanye Asrun sebagai calon Gubernur Sulawesi Tenggara pada Pilkada Serentak 2018.

Untuk diketahui, Asrun merupakan calon Gubernur Sultra dalam Pilkada 2018 berpasangan dengan Hagua. Pasangan itu diusung PAN, PKS, PDI-Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Gerindra.

Sementara itu, juga teridentifikasi bahwa sandi yang digunakan dalam suap tersebut adalah "koli kalender" yang diduga mengacu pada arti uang Rp1 miliar.

Sebagai pihak yang diduga penerima Adriatma, Asrun, dan Fatmawati disangkakan melanggar Pasal 11 atau pasal 12 huruf a atau huruf b UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan diduga pihak pemberi Hasmun disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018