Dalam pemerintahan, masing-masing kementerian dan lembaga sebenarnya juga mempunyai program bela negara, tapi mungkin dilakukan dalam bentuk lain dengan nama yang berbeda..
Setiap 19 Desember, rakyat Indonesia memperingati hari Bela Negara dan tahun ini merupakan peringatan ke-70, usia yang hampir sebaya dengan Republik Indonesia.
   
Tapi berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan Hari Bela Negara tahun ini terasa lebih spesial karena dilakukan secara serentak di seluruh Tanah Air.
   
Hal ini tidak lepas dari adanya imbauan dari  Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar seluruh jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota melaksanakan dan mendukung penuh pelaksanaan rencana aksi bela negara melalui upacara peringatan di instansi masing-masing.
  
Meski hari peringatan Bela Negara sudah berusia 70 tahun, faktanya masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui adanya Hari Bela Negara karena tenggelam oleh peringatan lainnya seperti Hari Sumpah Pemuda, Hari Kesaktian Panca Sila atau Hari Pahlawan.
   
Sejak terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) no 7 tahun 2018 tentang Bela Negara 2018-2019, semua kementerian dan lembaga pemerintah pun mulai memberikan perhatian lebih kepada program tersebut.
   
Dalam beberapa bulan terakhir sejak terbitnya Inpres itu pada September 2018 lalu, kalimat Aksi Bela Negara pun sering terdengar dan didengungkan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun lembaga lainnya. Semua pun bicara Bela Negara.
   
Tapi apakah sebenarnya yang dimaksud dengan Aksi Bela Negara tersebut?. Apakah bela negara tersebut sama dengan mengangkat senjata menghadapi agresi militer kekuatan asing?
  
Apakah semua pihak sudah mempunyai pemahaman Bela Negara yang sama dengan yang dimaksudkan dalam Inpres tersebut?
   
Bisa dipastikan bahwa tidak semua warga negara, terutama mereka yang berdomisili di daerah terpencil, memahami Bela Negara dengan pengertian sempit, yaitu berjuang dengan mengangkat senjata untuk mengusir musuh yang mengancam Ibu Pertiwi.
   
Jangankan rakyat biasa, pejabat pemerintah pun, baik di pusat maupun daerah memandang aksi bela negara sebagai sebuah persoalan yang menjadi hanya urusan militer dan kepolisian belaka.
   
Seperti yang diakui seorang pejabat pemerintah daerah Papua, ia baru tersadar dan matanya terbuka lebar setelah menghadiri undangan Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) untuk mengikuti Rembuk Nasional Aksi Bela Negara yang digelar di Jakarta 17-18 Desember lalu.
   
Selama ini ia berpikir, persoalan bela negara cukup diurus oleh tentara dan polisi, sementara warga negara yang lain lebih baik berkonsentrasi pada urusan pembangunan infrastruktur, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, pariwisata, atau hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan.
   
Jika seorang pejabat dari Bidang Ideologi dan Wawasan Kebangsaan Badan Kesadaran Bangsa dan Politik (Kesbangpol) itu saja mempunyai pandangan demikian, bisa dibayangkan bagaimana dengan warga yang tinggal di daerah terluar, terdepan dan tertinggal.


Segala Aspek

Pada dasarnya, seperti yang disampaikan oleh Dini Dewi Henniarti, dosen dari Universitas Islam Bandung, secara konseptual, pemahaman bela negara mungkin belum dipahami dengan baik oleh masyarakat.
   
Tapi dalam praktek sehari-hari, sebenarnya masyarakat sudah melakukan hal-hal yang merupakan perwujudan dari aksi bela negara karena bela negara tersebut ada di setiap aspek kehidupan.
  
Nelayan yang melaut setiap hari, dokter yang melayani pasien, pengusaha yang menjalankan bisnis, petani, guru, sopir taksi, tukang ojek, atlet, wartawan, atau apa pun profesinya jika dilaksanakan dengan benar dan bertanggung jawab, adalah bentuk dari aksi bela negara.
  
Dalam pemerintahan, masing-masing kementerian dan lembaga sebenarnya juga mempunyai program bela negara, tapi mungkin dilakukan dalam bentuk lain dengan nama yang berbeda.
   
Seperti yang terdapat di Kementerian Pemuda dan Olahraga, sebagai salah satu contoh, program pembinaan dan pengembangan prestasi atlet yang mereka jalankan, sehingga mereka bisa menghasilkan atlet berprestasi di dunia internasional, adalah bentuk bela negara.
   
Atlet adalah salah satu contoh paling gampang dan sederhana dalam penggambaran aksi bela negara, terutama mereka yang bertanding di berbagai event di luar negeri.
   
Hanya ada dua peristiwa dimana bendera Merah Putih berkibar dan lagu Indonesia Raya berkumandang, yaitu saat kunjungan kepala negara ke luar negeri dan ketika atlet merebut medali medali emas.
   
Hadirnya Inpres no 7 tahun 2018 tentang Aksi Bela Negara bertujuan agar setiap program dan upaya bela negara lebih terstruktur, sistematis, masif dan sesuai dengan standar yang diinginkan.
   
Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) yang saat ini dipimpin Letjen TNI Doni Monardo pun dipercaya oleh Presiden Joko Widodo sebagai penanggung jawab dan sekaligus menjadi koordinator program Aksi Bela Negara tersebut.
   
Melalui komando Doni Monardo bersama Kepala Satgas Bela Negara Wantannas Mayjen TNI Toto Siswanto, program Aksi Bela Negara yang ada di seluruh kementerian dan lembaga diharapkan bisa disinergikan dan tepat sasaran.
   
Sebagai langkah awal karena program Bela Negara baru diluncurkan pada September 2018 lalu, Wantannas pun menggelar Rembuk Nasional Bela Negara Untuk Kemakmuran Rakyat dengan sasaran utama sosialisasi dan penyusunan modul sebagai pedoman untuk program 2019.
   
Melalui sosialisasi tersebut, tahun-tahun berikutnya program Aksi Bela Negara sudah bisa dijalankan di seluruh Tanah Air dan masyarakat dari segala lapisan pun bisa mendapatkan pemahaman bahwa ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk membela negara.
    
Seperti yang disampaikan oleh Doni Monardo, aksi bela negara tersebut sebenarnya ada di hati dan dalam pikiran setiap warga. Bahkan senyum yang membuat orang lain merasa damai dan tenang pun termasuk salah satu bentuk bela negara.

Baca juga: Kemendagri serukan Pemda laksanakan rencana aksi bela negara
Baca juga: Papua berharap sosialisasi program bela negara lebih digencarkan

Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018