Mataram (ANTARA News) - Suasana di pagi buta dengan pemandangan alam pegunungan yang memesona seketika berubah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Teriakan histeris di tengah gemuruh longsoran tebing di penghujung fajar itu menambah suasana terasa mencekam.

"Suasana sangat menakutkan. Jarak pandang sangat terbatas, bukan kabut yang menghalangi, tapi longsoran debu dari puncak gunung. Beruntung masih ada sinyal telepon seluler," kata Saharudin menuturkan peristiwa menakutkan yang dialami ketika gempa bumi terjadi.

Saharudin merupakan satu-satunya petugas Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) yang berada di atas pegunungan ketika terjadi gempa bumi dengan magnitudo 6,4 yang mengguncang Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 29 Juli 2018.

Saat terjadinya bencana alam tersebut, pria kelahiran Kabupaten Lombok Tengah itu melakukan patroli rutin sambil mengawasi aktivitas para wisatawan di jalur pendakian, dan melakukan bersih-bersih sampah.

Suami dari Wisari tersebut mengaku tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi ketika material tanah dan bebatuan berhamburan dari atas dan menimbulkan suara gemuruh yang menakutkan. Yang dirasakan ketika itu hanya guncangan kuat.

Ribuan wisatawan yang sedang menikmati keindahan pemandangan Gunung Rinjani di pagi itu dilanda kepanikan. Masing-masing berupaya menyelamatkan diri dari batu besar runtuhan tebing yang siap merenggut nyawa mereka

Saharudin mengaku beruntung telepon selulernya masih aktif dan mendapatkan sinyal yang masih bagus, meskipun berada di atas punggung Gunung Rinjani berketinggian 3.726 meter dari permukaan laut (mdpl).

Berbekal alat telekomunikasi tersebut, Saharudin menghubungi rekan-rekannya di kantor BTNGR Resort Sembalun. Informasi melegakan pun diterima bahwa telah terjadi gempa bumi dan bukan gunung yang meletus.

"Saya merasa tenang setelah mendapatkan informasi melalui telepon seluler bahwa longsoran akibat gempa. Bukan Gunung Rinjani yang meletus," tutur Saharudin menceritakan peristiwa yang dialaminya ketika berada di atas Gunung Rinjani saat terjadinya gempa bumi.

Ayah dari Abi Marda Anugrah tersebut berkeyakinan bahwa masih akan terjadi gempa bumi susulan, namun kekuatannya tidak sampai sebesar gempa pertama.

Dari keyakinannya tersebut, Polisi Kehutanan BTNGR Resort Senaru itu meneruskan informasi kepada para wisatawan dan pemandu wisata gunung (porter dan guide) yang berada di atas pegunungan. Mereka semua diminta untuk tetap tenang dan tidak panik.

Saat dalam suasana riuh, Saharudin terus berupaya untuk membantu proses evakuasi para wisatawan sambil berkoordinasi dengan Kepala BTNGR Sudiyono melalui jaringan telekomunikasi Telkomsel. Begitu juga koordinasi dengan tim Badan SAR Nasional.

Saharudin mengaku tidak hanya dirinya yang sibuk dengan telepon genggam. Tapi seluruh wisatawan dan para pemandu wisata juga berupaya keras menghubungi anggota keluarga, kerabat dan teman-temannya.

Bahkan, dengan masih kuatnya sinyal telepon selular, ada yang sempat mengirim video kondisi jalur pendakian yang longsor disertai kepanikan para pendaki di atas gunung melalui media WhatsApp.

"Ada juga porter yang menelepon menanyakan kondisi keluarganya. Suasana tangis sempat menyelimuti sebagian besar porter yang berasal dari Senaru, Kabupaten Lombok Utara, karena mengetahui rumahnya hancur," tuturnya.

Dalam suasana genting dan penuh kesedihan, Saharudin terus berupaya memberikan motivasi kepada para pendaki dan pemandu wisata gunung untuk tetap tenang sambil menunggu bantuan proses evakuasi.

Ia dan para wisatawan serta pemandu wisata gunung sepakat untuk bermalam sambil menunggu bantuan datang. Lokasi berkemah dibangun di area yang masih menunjang untuk berkomunikasi melalui telepon seluler atau bukan area "blank spot".

Buah dari koordinasi dengan berbagai pihak melalui sambung telepon seluler tersebut, Saharudin berhasil membantu proses evakuasi 1.097 orang yang terjebak di atas Gunung Rinjani pada saat gempa bumi terjadi.

Ribuan orang tersebut terdiri atas 723 wisatawan asing dan 374 wisatawan nusantara, termasuk di dalamnya para pemandu wisata gunung. Semuanya dievakuasi ke Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, dan Senaru, Kabupaten Lombok Utara, pada 29-31 Juli 2018.? ?

"Seandainya tidak ada sinyal, mungkin sudah tidak tahu bagaimana nasib kami. Mungkin hari itu juga harus keluar dari gunung. Soalnya ada dua kemungkinan penyebab longsor di gunung pertama, gempa atau gunung meletus. Dengan adanya sinyal, kami tahu apa sebenarnya yang terjadi di atas gunung," kata Saharudin yang genap berusia 39 tahun pada 31 Desember 2018.



Sinyal Bagus

Menurut Saharudin, komunikasi melalui telepon genggam relatif sudah bagus, meskipun berada di atas pegunungan. Hampir semua operator telepon seluler sudah bisa diakses, termasuk sinyal Telkomsel milik Pemerintah Indonesia.

Namun, masih ada titik-titik tertentu yang tidak ada bisa ditembus sinyal telekomunikasi. Salah satunya area Danau Segara Anak. Padahal, lokasi tersebut menjadi titik poin berkumpulnya ribuan pendaki setiap hari.

"Makanya, ketika gempa bumi terjadi, saya harus naik beberapa ratus meter ke atas dari Danau Segara Anak, baru bisa menelepon," ucapnya.

Kondisi demikian juga diakui Ketua Porter-Guide Rinjani Sembalun, Habibullah.

Ia mengaku kesulitan berkomunikasi ketika berada di jalur pendakian Torean (Pelawangan-Sembalun) dan di Danau Segara Anak.

Untuk itu, pemuda yang juga menjadi Ketua Kampung Siaga Bencana Sembalun tersebut berharap agar pihak-pihak terkait memberikan perhatian terhadap masih adanya area yang belum tersentuh sinyal telekomunikasi.

Hal itu sangat penting dalam rangka menunjang aktivitas keselamatan pendakian Gunung Rinjani, terutama ketika terjadi bencana alam.

"Sinyal telekomunikasi di Danau Segara Anak yang penting diperhatikan karena menjadi lokasi berkumpulnya ribuan pendaki," katanya.

Namun secara umum, menurut Habibullah, kualitas sinyal telepon seluler di Kecamatan Sembalun hingga ke atas Gunung Rinjani relatif bagus. Bahkan, Telkomsel sudah menggunakan teknologi 4G.

4G adalah singkatan dari istilah dalam bahasa Inggris "Fourth generation technology". Istilah tersebut umumnya digunakan mengacu kepada standar generasi keempat dari teknologi telepon seluler.

"Teknologi 4G sudah masuk ke Sembalun beberapa tahun lalu. Teknologi tersebut cukup membantu kelancaran komunikasi, terutama yang menggunakan Telkomsel. Kalau dulu masih pakai 2G, sinyalnya hilang, muncul, hilang," tuturnya.

Manager Branch Telkomsel Mataram, Sandy Adyat, mengakui bahwa pihaknya belum bisa menjangkau seluruh area Gunung Rinjani yang relatif luas dengan kondisi topografi yang berbukit-bukit.

Namun, untuk rencana penambahan dan peningkatan kualitas jaringan tentu tetap menjadi perhatian perusahaannya. Apalagi di daerah yang menjadi basis pariwisata unggulan pemerintah, seperti Gunung Rinjani dan sekitarnya.

Telkomsel tetap memberikan perhatian besar terhadap keberadaan infrastruktur jaringan telekomunikasi di daerah terpencil dan terluar. Termasuk kawasan Gunung Rinjani yang masuk dalam wilayah administratif tiga kabupaten, yakni Kabupaten Lombok Timur, Lombok Utara, dan Lombok Tengah.

Telkomsel telah membangun lebih dari 184.000 Base Transceiver Station (BTS) atau infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara piranti komunikasi dan jaringan operator.

"Untuk daerah pegunungan, seperti di Gunung Rinjani tetap menjadi perhatian kami. Tapi, tentunya dengan memperhatikan kondisi alamnya seperti apa. Kalau memang ada ribuan pendaki di satu titik yang tidak ada sinyal dan mudah memasang infrastruktur maka akan diupayakan untuk dipasang," kata Sandy.*


Baca juga: Abaikan ancaman longsor demi saluran air

Baca juga: Malnutrisi di lereng Rinjani


Baca juga: Studi: radiasi telepon genggam bisa perlemah kinerja ingatan pada remaja


 

 

Pewarta: Awaludin
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019